Ia sebenarnya sangat ingin melihat anak semata wayangnya mau melanjutkan studi pasca kelulusan SMA ke jenjang lebih tinggi di seberang pulau. Ke bangku kuliah dimana ia pernah menyelesaikan studi terdahulu, meski dalam bidang minat yang berbeda. Minimal dengan adanya banyak kawan yang masih dimiliki, selama Agam menjalani masa studi jauh dari rumah, sudah ada yang menjaga dan mengawasi bersama semuanya.
Namun kenyataan tak seindah harapan.
Ia begitu kaget saat mengetahui keberadaan sang anak yang secara diam-diam memilih pulang ke tanah ibu tanpa berkabar sepatah kata. Itu pun upaya bersembunyi Agam dari sang ayah tampaknya gagal, pasca seorang kerabat bercerita soal pertemuannya dengan Agam ditempat makan siang tadi. Ia pun murka.
Benar-benar tak ia sangka, bahwa Agam memilih pulang hanya karena merasa kangen pada pacarnya yang kebetulan merupakan sepupu dari tanah ibu. Meninggalkan studi yang tak kunjung pasti diminati.
Ia hanya bisa menahan amarah saat melihat sang anak tertunduk dalam diam, gelisah dan ketakutan. Sebuah pilihan pun diberikan. Pacar atau Masa Depan.
Sebuah keputusan yang kelak akan disesalkan oleh banyak orang.
Lembar koran lokal ia tatap dengan mata nanar. Masih tak percaya jika Agam memilih untuk menenggak air aki ketimbang meneruskan studi sebagaimana harapan. Meski nyawa sang anak masih bisa tertolong, namun menyisakan tangis penyesalan dan cercaan banyak orang.
Comments
Post a Comment