Skip to main content

Mengenang Sepeda Balap #FixieHolic

Pada masa pandemi begini, pengguna sepeda makin banyak betebaran di sosial media. Dari yang dahulunya jarang terlihat naik sepeda gayung, kini tampak rutin posting aksi bersepeda jarak jauh tiap hari demi mengisi waktu luang di pagi atau sore hari, bersama keluarga maupun kawan satu perkumpulan. Menggunakan atribut lengkap penjaga keselamatan, dan tak lupa diakhiri dengan KulineRun.
Yah, ada beberapa sih yang seperti itu.
Tapi keren banget, kalo sampe bisa kayak gitu setiap harinya.

Sampai usia yang saat ini sudah masuk kepala empat, saya hanya pernah memegang 3 unit sepeda sedari kecil. Dari saat pertama kali mengenal sepeda roda dua dan berhasil mencoba mengendarainya, tepatnya saat duduk di bangku kelas 5 SD. Sepeda balap milik sepupu saya, om Pande Donny yang dikendarai dari rumah yang bersangkutan ke arah utara lalu berbelok ke arah timur, dimana jalan yang saat ini dinamakan sebagai Gatot Subroto Timur, saat itu masih berupa kapur putih limestone sampai persimpangan Oongan.

Sepeda kedua yang saya pegang dan kendarai ke seputaran area rumah dan banjar adalah sepeda mini milik kakak perempuan, lengkap dengan gandengan dan keranjang disisi depan sepeda. Saya sering pinjam saat pulang sekolah, bermain dan berkeliling dari siang hingga sore hari dijalanan. Sampai kemudian terjatuh di halaman depan gegara didorong oleh sepupu, dan sejak saat itu, saya gak diijinkan menggunakan sepeda mini itu lagi.

Masuk masa SMP, kakek dari pihak Ibu menghadiahkan sebuah sepeda balap berbahan dasar stainless steel dan krom di semua permukaan. Yang sebenarnya merupakan pemberian Beliau pada cucunya di rumah, namun karena ukurannya yang terlalu besar, Beliau pun memberikannya pada saya, mengingat tubuh yang sudah mulai menjulang saat itu. Sepeda ini praktis mengantarkan saya bersekolah pada masa SMP berlanjut hingga kelas 2 SMA, yang berlokasi di lapangan Pica Sanur. Meski sesekali numpang gandengan pada beberapa kawan dengan menitipkan sepeda tersebut di rumahnya.

Sepeda Balap ini masih berlanjut saya gunakan saat sudah lolos masuk sebagai Pegawai Negeri Sipil Kabupaten Badung yang saat itu masih berkantor di pojokan Lapangan Puputan Badung atau sekitar 1 KM dari rumah dengan track lurus.

Pada era sepeda Fixie mulai menjadi trend beberapa tahun lalu, sepeda balap saya disulap sedemikian rupa menjadi paduan warna dasar hitam pada seluruh permukaan dan balutan warna merah pada beberapa bagian. Ini kalau tidak salah ingat, dikerjakan oleh dua sepupu yaitu Bli Ade Jenggo almarhum, dan Komang Dika ‘Bandot’ yang kini menjadi juragan Mitsubishi. Dua orang inilah yang sukses mengubah wajah sepeda balap yang saya gunakan, untuk kemudian mengikuti agenda sepedaan bareng keluarga di Titih ke area Sanur ataupun Serangan.

Tanpa ada pengukur jarak ataupun penggunakan tanda keselamatan. Yang penting, begitu tiba di tujuan, ada agenda makan-makannya.
#bike #biketowork #ride #fixie #fixieholic

Comments

Popular posts from this blog

Mewujudkan Agenda Cuti Bersama Lebaran

Tampaknya di Hari terakhir Cuti Bersama Lebaran, sebagian besar rencana yang ingin dilakukan sejak awal liburan sudah bisa terwujud, meski masih ada beberapa agenda lainnya yang belum bisa dijalani.  Satu hal yang patut disyukuri, setidaknya waktu luang jadi bisa dimanfaatkan dengan baik untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan tertunda beberapa waktu lalu.  1. Migrasi Blog Aksi pulang kampung ke laman BlogSpot tampaknya sudah bisa dilakukan meski dengan banyak catatan minus didalamnya. Namun setidaknya, harapan untuk tidak lagi merepotkan banyak orang, kedepannya bisa dicapai. Sekarang tinggal diUpdate dengan postingan tulisan tentang banyak hal saja.  2. Upload Data Simpeg Melakukan pengiriman berkas pegawai ke sistem online milik BKD rasanya sudah berulang kali dilakukan sejauh ini. Termasuk Simpeg Badung kali ini, yang infonya dilakukan pengulangan pengiriman berkas dengan menyamakan nomenklatur penamaan file. Gak repot sih sebenarnya. Tapi lumayan banyak yang harus dilengkapi lagi. 

Akhirnya Migrasi Jua, Pulang ke Kampung Blogspot

Gak terasa yang namanya aktifitas menulisi Blog sudah sampai di tahun ke 17. Termasuk ukuran blogger senior kalau kata teman, padahal kalau dilihat dari sisi kualitas tetap saja masuk kelompok junior. Belum pernah menghasilkan tulisan yang keren sejauh ini. Blog bagi saya sudah jadi semacam wadah untuk coli. Ups Maaf kalo mencomot istilah gak baik. Tapi ini seriusan, karena memang digunakan untuk melanjutkan halusinasi tanpa perlu berpikir akan ada yang berkunjung, membaca atau tidak. Setidaknya berguna untuk menjaga pikiran-pikiran negatif agar tidak menjalar keluar mengganggu orang lain, atau melepas lelah dan keluh kesah harian akan segala tekanan bathin di keluarga, kantor maupun sosial masyarakat. Jadi maklumi saja kalau isi blognya gak sesuai ekspektasi kalian. Meski sudah menulis selama 17 tahun, namun laman Blog www.pandebaik.com ini kalau ndak salah baru lahir sekitar tahun 2008. Segera setelah bermasalah dengan media mainstream yang berbarengan dengan tutupnya penyedia hos

Kendala yang ditemui saat Migrasi Blog

Keputusan untuk Migrasi alias pulang kampung ke halaman Blogspot, sebetulnya merupakan satu keputusan yang berat mengingat WordPress sudah jadi pijakan yang mapan untuk ukuran blog yang berusia 17 tahun. Tapi mengingat pemahaman dan kemampuan pribadi akan pengelolaan blog dengan hosting yang teramat minim, sekian kali ditumbangkan oleh script, malware dan lainnya, rasanya malu juga kalau terus-terusan merepotkan orang hanya untuk sebuah blog pribadi yang gak mendatangkan materi apa-apa. Ini diambil, pasca berdiskusi panjang dengan 2-3 rekan yang paham soal proses Migrasi dan apa sisi positif di balik itu semua. Namun demikian, rupanya proses Migrasi yang tempo hari saya coba lakukan dengan hati-hati, tidak semulus harapan atau keinginan yang dibayangkan. Ada beberapa kendala didalamnya yang mana memberikan efek cukup fatal dalam pengarsipan cerita atau postingan blog sebelumnya. Yuk disimak apa saja. 1. Pengurangan jumlah postingan Blog yang cukup signifikan. Postingan Blog www.p