Skip to main content

Mari Mengenal Wayang Kulit

Wayang kurang lebih berasal dari Bayang. Bayang-bayangan kulit yang ditatah dengan nilai seni tinggi inilah yang ditonton orang dari balik layar dengan bantuan suluh lampu belencong, bergerak menghidupkan satu lakon diiringi lantunan gender, membuat orang bersorak sorai, bertepuk tangan, mencemooh terkadang menangis. Inilah Wayang Kulit.

Wayang hingga saat ini dipandang sebagai warisan Indonesia Purba –Pra Hindu, dimana baik tanah Jawa maupun Bali, Wayang telah dikenal dengan baik. Di Jawa Barat, dikenal adanya Wayang Golek yang terbuat dari kayu, dipentaskan tanpa kelir dan mengambil lakon dari ceritera Islam. Di Jawa Timur terdapat pula Wayang Klitik atau Krucil, terbuat dari kayu pipih dan mengambil ceritera Damarwulan. Ada juga Wayang Tingul dimana serupa dengan Wayang Golek hanya tanpa badan, digerakkan dengan memasukkan tangan kedalamnya dan juga Wayang Wong dimana Manusia-lah yang menjadi Wayangnya.

Pertunjukan Wayang Kulit biasanya sangat erat kaitannya dengan upacara Ruwatan atau upacara sakral yang berhubungan dengan kehidupan manusia sejak lahir, hidup dan mati. Sebuah pertunjukan Wayang Kulit merupakan satu pertunjukan teater yang lengkap dimana berbagai unsur seni berpadu didalamnya. Seni suara, sastra, seni rupa, gerak / tari dan juga drama. Peran sutradara, koreografer dan sekaligus pemain diborong sang Dalang. Tak mengherankan apabila seorang Dalang harus memiliki segudang Pengetahuan baik Filsafat, Agama, Hukum dan berbagai aspek kehidupan serta mampu merangkum semuanya dalam satu aktualitas yang segar. Apalagi jika iramu dengan lelucon yang mengocok perut penonton atau melagukan nyanyian yang meneteskan air mata. Disini pula letak perbedaannya dengan Dalang Jawa. Dalang Bali mengerjakan semuanya.

Seorang Dalang didampingi pembantunya yang disebut dengan Ketengkong atau Pengabih. Tugas utamanya adalah mempersiapkan wayang mana saja yang akan naik ke pentas kelir. Tentu saja sang Ketengkong ini harus paham pula dengan rencana ceritera yang dilakoni sang Dalang. Wayang-wayang ini biasanya diletakkan dan disimpan dalam sebuah Keropak atau kotak kayu yang dinamakan Gedog.

Pendamping Dalang lainnya adalah Penabuh Gender. Jumlahnya bisa dua (sepasang), empat atau lebih. Ini dilakukan apabila untuk mengiringi lakon yang dibawakan membutuhkan gambelan Batel, gambelan –musik tradisional Bali-  yang biasanya digunakan pula pada sebuah pertunjukan Barong.

Tak mengherankan apabila syarat untuk menjadi seorang Dalang itu tidaklah gampang. Dia mesti cakap atau paling tidak hafal dengan tetabuhan gender, bisa pula menyanyikan lagu kekawin, pupuh atau kidung, serta tahu tembang tertentu untuk jenis wayang yang tertentu pula. Dalang juga Harus pandai berbahasa Kawi (bahasa Jawa Kuno) pun Bahasa Bali, Karena dalam setiap peran yang menggunakan Bahasa Kawi, diterjemahkan pula dalam Bahasa Bali oleh sang Punakawan. Mesti pula hafal berbagai lakon, filsafat agama Hindu serta Ilmu keBathinan. Sebab disamping sebagai seorang seniman, seorang Dalang biasanya berlaku pula sebagai seorang Rohaniawan, karena itulah disebut Pemangku atau Mangku Dalang –yang menyelesaikan upacara pensucian orang, ruwatan atau untuk keperluan upacara lainnya. Terkait Punakawan, silahkan baca kembali tulisan lama saya terkait Mengenal Punakawan dalam Wayang Kulit ya.

Persiapan untuk melakukan sebuah Pertunjukan Wayang Kulit tidak bisa sembarangan dilakukan, karena sudah baku sejak Wayang itu dikenal. Pamungkah adalah adegan dimana seorang Dalang mulai membuka peti kotak kayu atau Gedog Wayang, mengambilnya satu persatu. Dilanjutkan dengan Peguneman atau permusyawaratan antar beberapa tokoh yang akan mengambil peran dalam ceritera, Pemahbah saat dimana sang dalang mengucapkan rangkaian wacana memohon ijin pada Tuhan serta Bethara Bethari agar tidak terkena kutukannya, Lelampahan atau pertunjukan utama sesuai alur ceritera dan diakhiri dengan Pamempenan atau menyimpan kembali Wayang-wayang yang telah diampilkan kedalam keropak atau Gedog Wayang yang didahului  dengan upacara menghaturkan sesajen dan memohon air suci atau yang dikenal dengan Tirtha Wayang.

Pertunjukan Wayang Kulit yang mengambil lakon Mahabharata disebut dengan Wayang Parwa, dimana hanya membutuhkan atau diiringi 2 (dua) gender Wayang besar dan kecil. Sebaliknya Wayang Kulit yang mengambil lakon Ramayana yang disarati dengan “pemain” golongan Wenara atau Kera, harus mendapatkan iringan yang jauh lebih meriah. Karena itu diperlukan 2 (dua) pasang gender Wayang, sepasang kendang krumpungan lanang dan wadon, sebuah kempul atau kempluk, sebuah ricik atau cengceng cenik, sebuah atau lebih Suling dan sebuah Kajar. Dalam perkembangannya, kebutuhan akan gambelan pengiring ini makin meriah dengan adanya gambelan gong lengkap atau abarung seperti yang kerap dipertunjukkan oleh Dalang Nardayana atau yang lebih dikenal sebagai Wayang CenkBlonk.

Comments

Postingan Lain

Jodoh di Urutan ke-3 Tanda Pesawat IG

Kata Orangtua Jaman Now, Jodoh kita itu adanya di urutan ke-3 tanda pesawat akun IG.  Masalahnya adalah, yang berada di urutan ke-3 itu bapak-bapak ganteng brewokan berambut gondrong.  Lalu saya harus gimana ?  #jodohurutanketigadipesawat  Mestinya kan di urutan SATU ?

Mewujudkan Agenda Cuti Bersama Lebaran

Tampaknya di Hari terakhir Cuti Bersama Lebaran, sebagian besar rencana yang ingin dilakukan sejak awal liburan sudah bisa terwujud, meski masih ada beberapa agenda lainnya yang belum bisa dijalani.  Satu hal yang patut disyukuri, setidaknya waktu luang jadi bisa dimanfaatkan dengan baik untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan tertunda beberapa waktu lalu.  1. Migrasi Blog Aksi pulang kampung ke laman BlogSpot tampaknya sudah bisa dilakukan meski dengan banyak catatan minus didalamnya. Namun setidaknya, harapan untuk tidak lagi merepotkan banyak orang, kedepannya bisa dicapai. Sekarang tinggal diUpdate dengan postingan tulisan tentang banyak hal saja.  2. Upload Data Simpeg Melakukan pengiriman berkas pegawai ke sistem online milik BKD rasanya sudah berulang kali dilakukan sejauh ini. Termasuk Simpeg Badung kali ini, yang infonya dilakukan pengulangan pengiriman berkas dengan menyamakan nomenklatur penamaan file. Gak repot sih sebenarnya. Tapi lumayan banyak yang harus dilengkapi lagi. 

Warna Cerah untuk Hidup yang Lebih Indah

Seingat saya dari era remaja kenal baju kaos sampai nganten, isi lemari sekitar 90an persen dipenuhi warna hitam. Apalagi pas jadi Anak Teknik, baju selem sudah jadi keharusan.  Tapi begitu beranjak dewasa -katanya sih masa pra lansia, sudah mulai membuka diri pada warna-warna cerah pada baju atasan, baik model kaos oblong, model berkerah atau kemeja.  Warna paling parah yang dimiliki sejauh ini, antara Peach -mirip pink tapi ada campuran oranye, atau kuning. Warna yang dulu gak bakalan pernah masuk ke lemari baju. Sementara warna merah, lebih banyak digunakan saat mengenal ke-Pandean, nyaruang antara warna parpol atau merahnya Kabupaten Badung.  Selain itu masih ada warna hijau tosca yang belakangan lagi ngetrend, merah marun atau biru navy. Semua warna dicobain, mengingat hidup rasanya terlalu sederhana untuk dipakein baju hitaaaaam melulu.  Harapannya bisa memberikan warna pada hidup yang jauh lebih cerah, secerah senyum istri pas lagi selfie. 

Semua Berakhir di 5 Besar Teruna Teruni Denpasar 2024

Bermula dari coba-coba lalu masuk menjadi 5 Besar Finalis Teruna Teruni Denpasar Tahun 2024, putri kami Pande Putu Mirah Gayatridewi ternyata masih berusia 15 Tahun saat Grand Final dilaksanakan di Gedung Dharma Negara Alaya Lumintang Kota Denpasar, hari Minggu 18 Februari 2024 kemarin. Berhasil menyisihkan puluhan peserta dengan tingkat prestasi berskala Kab/Kota, Provinsi dan Nasional, ia mendapatkan undangan dari Panitia TTD untuk mengikuti perhelatan bergengsi ini, pasca meraih Juara Pertama Teruna Bagus Teruni Jegeg Sisma -SMAN 7 Denpasar Tahun 2023 lalu. Sehingga batas bawah Umur Peserta yang seharusnya 16 Tahun, infonya ditoleransi mengingat usianya sudah jalan menuju angka 16 sebulan kedepan.  Meski hanya sampai di peringkat 5 Besar, kami semua turut bangga mengingat ini adalah kali pertama putri kami mengikuti ajang tingkat Kab/Kota, menjadikannya sebagai Finalis Termuda diantara peserta lainnya. Bahkan kami dengar, merupakan siswa pertama di sekolahnya yang lolos hingga jenja

62 Tahun Bang Iwan Fals

Pekan ini Bang Iwan Fals kalau gak salah genap berusia 62 tahun. Umur yang gak muda lagi meski masih sering melahirkan karya-karya baru bareng anak-anak muda milenial.  Saya mengenal lagu-lagu Bang Iwan tepatnya di era Album Wakil Rakyat. Sebuah karya jelang Pemilu 1988 yang mengetengahkan lagu soal para legislatip yang biasa bersafari, dengan keragaman perilaku mereka di jaman itu.  Lirik lagunya tergolong sederhana, dan aransemennya juga mudah diingat. Gak heran di jaman itu pula, saya kerap membawakan lagu Wakil Rakyat sebagai lagu kebanggaan pas didaulat nyanyi didepan kelas, didepan 40an anak kelas 4 atau 5 kalau gak salah.  Dan ada juga beberapa karya sang musisi, yang dibawakan sesekali macam Kereta Tua atau Sore Tugu Pancoran yang bercerita soal si Budi kecil.  Terakhir menyukai karya Bang Iwan kalau ndak salah di album Suara Hati (2002). Yang ada track Untuk Para Pengabdi dan Seperti Matahari. Dua lagu favorit saya di album itu. Setelahnya hanya sebatas suka mendengar sebagian