Skip to main content

Mari Mengenal (Lebih Jauh) Wayang Kulit

Melanjutkan tulisan saya sebelumnya terkait Mengenal Wayang Kulit, Wayang Parwa dan juga para Punakawannya, kali ini saya lengkapi sedikit terkait lakon dan juga bagaimana rupa dari Wayang Kulit tersebut.

Lazimnya sebuah dunia, sifat Rwa Bhineda baik dan buruk selalu mewarnai kehidupan. Demikian halnya dalam dunia Wayang dikenal 2 (dua) kelompok besar, kanan dan kiri. Golongan Kanan lebih mewakili sifat-sifat kebajikan. Dari lakon Mahabharata ada para Pandawa dan golongan Yadu sedangkan pada lakon Ramayana meliputi Rama, Laksamana, Hanoman, Sugriwa dkk. Sebaliknya Golongan Kiri disarati sifat-sifat kebhatilan yang diwakili oleh para Kurawa dalam lakon Mahabharata dan Rahwana beserta para Raksasa dalam lakon Ramayana.

Penampilan sebuah Wayang dilengkapi dengan ciri-ciri sifat dan kedudukannya. Misalkan untuk hiasan kepala, bagi para dewa atau raja berisikan gelung agung yang terdiri dari gelung candi kurung dan gelung rebah, melambangkan keagungan. Gelung candi kurung bisa ditemukan dalam sosok Wayang Siwa dan Karna sedangkan Gelung candi rebah bisa ditemukan pada sosok Dewata Nawasanga. Gelung prabu atau dikenal dengan istilah pepudakan digunakan untuk Wayang yang berperan raja seperti Duryodana, Subali dan juga Sugriwa. Gelung supit urang bagi para kesatria dan Gelung keklingkingan, pepisungan atau kekendon yang melambangkan kesederhanaan.

Bagian Mata Wayang yang digambarkan dengan mata bulat atau dedelingan diperuntukkan bagi para Raksasa dan kaum Korawa yang melambangkan ketegasan yang sempurna atau malah cenderung pemarah dan brangasan. Mata yang berbentuk segitiga tumpul untuk para Kesatria (Arjuna, Kresna dan Yudistira) melambangkan kearifan dan Mata yang berbentuk sipit untuk punakawan Tualen dan Merdah sebagai lambang pengalaman serta keTuhanan yang mendalam.

Mulut Wayang dibuat tidak sembarang. Mulut yang terbuka lebar dengan gigi taring mencuat melambangkan keserakahan dan keangkaramurkaan. Mulut bagian atas terbuka sehingga memperlihatkan giginya melambangkan sikap peran yang kerap memberikan wejangan baik sebagai raja, kesatria, dewa atau lainnya. Sedangkan Mulut yang dipakaikan Pecuntil -batangan pendek yang lentur, ditarik dengan benang- biasanya diperuntukkan bagi para punakawan dan bebondresan yang berfungsi menerjemahkan segala ucapan tokoh-tokoh pewayangan.

(Pesta Kesenian Bali Copyright Cita Budaya 1991)

Comments

Popular posts from this blog

Jodoh di Urutan ke-3 Tanda Pesawat IG

Kata Orangtua Jaman Now, Jodoh kita itu adanya di urutan ke-3 tanda pesawat akun IG.  Masalahnya adalah, yang berada di urutan ke-3 itu bapak-bapak ganteng brewokan berambut gondrong.  Lalu saya harus gimana ?  #jodohurutanketigadipesawat  Mestinya kan di urutan SATU ?

Mewujudkan Agenda Cuti Bersama Lebaran

Tampaknya di Hari terakhir Cuti Bersama Lebaran, sebagian besar rencana yang ingin dilakukan sejak awal liburan sudah bisa terwujud, meski masih ada beberapa agenda lainnya yang belum bisa dijalani.  Satu hal yang patut disyukuri, setidaknya waktu luang jadi bisa dimanfaatkan dengan baik untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan tertunda beberapa waktu lalu.  1. Migrasi Blog Aksi pulang kampung ke laman BlogSpot tampaknya sudah bisa dilakukan meski dengan banyak catatan minus didalamnya. Namun setidaknya, harapan untuk tidak lagi merepotkan banyak orang, kedepannya bisa dicapai. Sekarang tinggal diUpdate dengan postingan tulisan tentang banyak hal saja.  2. Upload Data Simpeg Melakukan pengiriman berkas pegawai ke sistem online milik BKD rasanya sudah berulang kali dilakukan sejauh ini. Termasuk Simpeg Badung kali ini, yang infonya dilakukan pengulangan pengiriman berkas dengan menyamakan nomenklatur penamaan file. Gak repot sih sebenarnya. Tapi lumayan banyak yang harus dilengkapi lagi. 

62 Tahun Bang Iwan Fals

Pekan ini Bang Iwan Fals kalau gak salah genap berusia 62 tahun. Umur yang gak muda lagi meski masih sering melahirkan karya-karya baru bareng anak-anak muda milenial.  Saya mengenal lagu-lagu Bang Iwan tepatnya di era Album Wakil Rakyat. Sebuah karya jelang Pemilu 1988 yang mengetengahkan lagu soal para legislatip yang biasa bersafari, dengan keragaman perilaku mereka di jaman itu.  Lirik lagunya tergolong sederhana, dan aransemennya juga mudah diingat. Gak heran di jaman itu pula, saya kerap membawakan lagu Wakil Rakyat sebagai lagu kebanggaan pas didaulat nyanyi didepan kelas, didepan 40an anak kelas 4 atau 5 kalau gak salah.  Dan ada juga beberapa karya sang musisi, yang dibawakan sesekali macam Kereta Tua atau Sore Tugu Pancoran yang bercerita soal si Budi kecil.  Terakhir menyukai karya Bang Iwan kalau ndak salah di album Suara Hati (2002). Yang ada track Untuk Para Pengabdi dan Seperti Matahari. Dua lagu favorit saya di album itu. Setelahnya hanya sebatas suka mendengar sebagian