Skip to main content

Antara Rangda, Rarung dan Celuluk

Diantara sekian banyak sosok sakral yang begitu populer di Bali, nama besar Rangda, Rarung dan Celuluk barangkali akan langsung mengingatkan pada satu lakon Calonarang, satu cerita yang hingga kini masih kerap dipentaskan oleh desa-desa adat Bali disela hiruk pikuknya upacara yadnya. Namun ada juga pementasan yang dilakukan dengan melibatkan salah satu diantaranya yaitu Rangda dalam lakon Barong Dance untuk kepentingan Komersial dan pengenalan Budaya Bali kepada para Wisatawan mancanegara.

Rangda seperti yang dikenal oleh seluruh Umat Hindu di Bali, merupakan satu sosok makhluk yang menyeramkan, digambarkan sebagai seorang wanita dengan rambut panjang yang acak-acakan serta memiliki kuku, lidah, dan payudara yang panjang. Wajahnya menakutkan dan memiliki gigi yang tajam. Namun sesungguhnya kata Rangda menurut Etimologinya, berasal dari Bahasa Jawa Kuno yaitu dari kata Randa yang berarti Janda. Rangda adalah sebutan janda dari golongan Tri Wangsa, yaitu Waisya, Ksatria dan Brahmana. Sedangkan dari golongan Sudra disebut Balu dan kata Balu apabila dierjemahkan dalam Bahasa Bali alusnya adalah Rangda.

Dalam perkembangannya, istilah Rangda untuk janda sangat jarang kita dengar, karena dikhawatirkan menimbulkan kesan tidak enak mengingat wujud Rangda yang ‘aeng’ (seram) dan menakutkan, serta identik dengan orang yang mempunyai ilmu kiri (pengiwa). Dengan kata lain, ada kesan rasa takut, tersinggung dan malu apabila dikatakan bisa neluh nerangjana (ngeleak).

Dalam perwujudannya secara fisik, sosok sejenis Rangda ada pula yang dikenal dengan nama varian lain seperti Rarung dan Celuluk. Dalam lakon Calonarang, dua sosok Rarung dan Celuluk ini digambarkan sebagai antek-anteknya Rangda yang dalam budaya Bali bukan merupakan sosok yang disakralkan.

Ada dua perbedaan paling kentara yang dikenal ketika menyebutkan sosok Rangda dan Rarung. Apabila Rangda merupakan sebutan bagi Janda yang usianya tergolong tua (lingsir), Rarung merupakan sosok yang digambarkan jauh lebih cantik dan lebih muda. Dilihat dari segi warna yang digunakan, Rangda biasanya digambarkan dalam rupa yang lebih banyak menggunakan tapel atau topeng berwarna putih. Sedangkan Rarung ada yang menggunakan warna Merah, Hitam, Biru, Cokelat dan lainnya.

Lantas bagaimana dengan Celuluk ?

Tak jauh berbeda dengan dua sosok diatas, Celuluk pun digambarkan sebagai sosok yang sama menyeramkannya dan seperti yang telah disebutkan tadi, Celuluk dikenal sebagai antek-anteknya Rangda dalam lakon Calonarang.

Bagi saya pribadi, bentuk rupa perwajahan Celuluk jauh lebih menyeramkan ketimbang sosok Rangda yang disakralkan oleh Umat Hindu di Bali dan juga Rarung. Dengan bentuk batok kepala yang khas, ditambah seringai dan gigi yang besar serta tajam, sosok Celuluk kabarnya mampu menebarkan ketakutan bagi mereka yang menatapnya secara seksama hanya dari unsur tapel atau topengnya saja.

 

Comments

Popular posts from this blog

Jodoh di Urutan ke-3 Tanda Pesawat IG

Kata Orangtua Jaman Now, Jodoh kita itu adanya di urutan ke-3 tanda pesawat akun IG.  Masalahnya adalah, yang berada di urutan ke-3 itu bapak-bapak ganteng brewokan berambut gondrong.  Lalu saya harus gimana ?  #jodohurutanketigadipesawat  Mestinya kan di urutan SATU ?

Mewujudkan Agenda Cuti Bersama Lebaran

Tampaknya di Hari terakhir Cuti Bersama Lebaran, sebagian besar rencana yang ingin dilakukan sejak awal liburan sudah bisa terwujud, meski masih ada beberapa agenda lainnya yang belum bisa dijalani.  Satu hal yang patut disyukuri, setidaknya waktu luang jadi bisa dimanfaatkan dengan baik untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan tertunda beberapa waktu lalu.  1. Migrasi Blog Aksi pulang kampung ke laman BlogSpot tampaknya sudah bisa dilakukan meski dengan banyak catatan minus didalamnya. Namun setidaknya, harapan untuk tidak lagi merepotkan banyak orang, kedepannya bisa dicapai. Sekarang tinggal diUpdate dengan postingan tulisan tentang banyak hal saja.  2. Upload Data Simpeg Melakukan pengiriman berkas pegawai ke sistem online milik BKD rasanya sudah berulang kali dilakukan sejauh ini. Termasuk Simpeg Badung kali ini, yang infonya dilakukan pengulangan pengiriman berkas dengan menyamakan nomenklatur penamaan file. Gak repot sih sebenarnya. Tapi lumayan banyak yang harus dilengkapi lagi. 

62 Tahun Bang Iwan Fals

Pekan ini Bang Iwan Fals kalau gak salah genap berusia 62 tahun. Umur yang gak muda lagi meski masih sering melahirkan karya-karya baru bareng anak-anak muda milenial.  Saya mengenal lagu-lagu Bang Iwan tepatnya di era Album Wakil Rakyat. Sebuah karya jelang Pemilu 1988 yang mengetengahkan lagu soal para legislatip yang biasa bersafari, dengan keragaman perilaku mereka di jaman itu.  Lirik lagunya tergolong sederhana, dan aransemennya juga mudah diingat. Gak heran di jaman itu pula, saya kerap membawakan lagu Wakil Rakyat sebagai lagu kebanggaan pas didaulat nyanyi didepan kelas, didepan 40an anak kelas 4 atau 5 kalau gak salah.  Dan ada juga beberapa karya sang musisi, yang dibawakan sesekali macam Kereta Tua atau Sore Tugu Pancoran yang bercerita soal si Budi kecil.  Terakhir menyukai karya Bang Iwan kalau ndak salah di album Suara Hati (2002). Yang ada track Untuk Para Pengabdi dan Seperti Matahari. Dua lagu favorit saya di album itu. Setelahnya hanya sebatas suka mendengar sebagian