Drama itu telah dimulai…
Hampir setiap tahun masyarakat negeri ini disuguhkan tayangan klise begitu mendekati bulan puasa. Aksi razia terhadap sejumlah klab malam, panti pijat, tempat dugem, diskotik, café dan semacamnya yang biasanya dilengkapi dengan tindak kekerasan apabila ada hal-hal yang tidak sesuai dengan hati nurani sang oknum yang mengatasnamakan umat Tuhan paling terhormat.
Bar sampai panti pijat tutup selama puasa, begitu judul sebuah artikel di portal berita Vivanews 21 Juli kemarin. Artikel yang mengetengahkan soal himbauan untuk menutup 400 dari 1.300 tempat hiburan malam di Jakarta selama bulan puasa, dimulai dari 11 Agustus 2010. “Tempat-tempat itu harus tutup satu hari sebelum bulan puasa sampai satu hari setelah Hari Raya Idul Fitri,” kata Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jakarta, Arie Budiman, di Jakarta. Sementara itu untuk tempat hiburan malam jenis lainnya, seperti karaoke, tidak wajib tutup. Tetapi, kegiatannya dibatasi hanya pukul 20.30 WIB sampai pukul 01.30 WIB.
Yang saya katakan sebagai drama sekaligus menjadi pertanyaan setiap tahunnya adalah, kenapa ? kenapa tempat-tempat hiburan tersebut harus ditutup dan tidak beroperasi selama bulan puasa ? apakah semua tempat tersebut lantas dianggap maksiat hingga ditenggarai bakalan mengganggu jalannya ibadah mayoritas umat Muslim negeri yang kabarnya mengedepankan rasa demokratis dan katanya punya tenggang rasa yang tinggi, tepo seliro dan ‘saling hormat menghormati antar umat beragama ?
Pertanyaan kedua, lantas kalau memang dianggap maksiat atau mengganggu jalannya ibadah kenapa tidak ditutup saja secara permanen sehingga yang namanya moral dan akhlak sejumlah generasi muda dan anak-anak bangsa ini tidak dirusak ? kalau sudah begini, jangan lantas menyalahkan Ariel, Luna Maya dan Cut Tari dong… Wong selama 11 bulan sisanya bangsa ini disuguhkan tontonan yang lebih ‘menarik’ kok. lha kok malah melenceng kesitu ?
Pertanyaan menggelitik malah dilontarkan seorang sahabat melalui komentar status di jejaring sosial FaceBook tempo hari. Kalo kemudian tempat-tempat tersebut ditutup hanya pada bulan puasa, artinya kita sudah mengetahui pangsa pasar mana saja yang disasar oleh sejumlah tempat hiburan tersebut. Baik pelaku dan konsumennya. Menarik bukan ?
Ada satu imajinasi yang kerap terbayang pada pikiran setiap kali bangsa ini disuguhkan drama seperti ini.
Seandainya… ya, seandainya saja… tempat-tempat hiburan seperti yang telah disebutkan diatas, tidak ditutup, tidak dibatasi dan dibiarkan beroperasi selama bulan puasa, coba bayangkan… seberapa besar pahala yang didapatkan oleh setiap umat baik yang tidak terlibat dalam kegiatan tempat hiburan tersebut, atau yang terlibat sebagai pelaku, pemilik hingga konsumennya, apabila dapat menunaikan ibadah puasa tanpa terganggu atau terusik oleh semua ‘maksiat’ tersebut. Karena bagaimanapun juga, itu merupakan tantangan terbesar yang ada selama proses ibadah.
Tindakan untuk menutup tempat hiburan selama bulan puasa secara tidak langsung mengartikan bahwa mereka pada akhirnya melegalkan tempat hiburan selama 11 bulan sisanya. Satu tindakan yang tidak memecahkan masalah saya kira.
Entah kenapa, setiap kali bulan puasa yang kemudian dibumbui oleh drama razia tempat hiburan ini, saya selalu teringat dengan tulisan karya HiLman dalam fiksinya yang paling keren, Lupus. Teringat akan satu cerita dimana satu hari lupus menemukan seorang anak jalanan yang dengan seenaknya makan roti dihadapan umum saat bulan puasa. Hal ini tentu saja membuat marah orang-orang yang hilir mudik disekitarnya. Si anak jalanan hanya ingin membalas perlakuan orang disekitarnya yang tidak peduli padanya. Hanya satu hari dalam setahun… bandingkan dengan sisa tiga ratusan hari dimana orang melakukan hal yang sebaliknya terhadap si anak jalanan…
Yah, semoga saja apa yang dikhawatirkan tidak akan pernah terjadi lagi. Kalopun terjadi ya… kita nonton film aja yuk ?
Comments
Post a Comment