Skip to main content

Dari Yowana Paramartha menuju Pura Penataran Pande Tamblingan (2)

Tulisan berikut merupakan tulisan kedua dari dua tulisan yang versi aslinya dipublikasikan dalam bentuk Notes di sebuah jejaring sosial FaceBook oleh Yande Putrawan, seorang generasi muda Warga Pande dari Pedungan Denpasar dimana untuk sementara ini didaulat sebagai Koordinator Pembentukan Yowana Paramartha Warga Pande, sebuah wadah berkumpulnya Teruna Teruni Semeton Pande untuk bertukar informasi tentang kePandean.

* * *

Kami berempat, saya, Pande Yadnya (Pande Bali), Pande Karsana (Pande Lukis) dan Nyoman Yogi Triana berangkat bersama menggunakan satu kendaraan menuju Pura Penataran Pande Tamblingan kamis 24 Juni 2010 lalu. Agenda Karya pada hari tersebut adalah Ngeresi Gana, Melaspas, Mepedagingan dan Mecaru balik sumpah.

Sesampainya dijalan tanah menuju lokasi pura, pada awalnya kami tidak diperbolehkan masuk mengendarai mobil karena memang parkir yang ada saat itu sudah dipadati pemedek yang tangkil lebih dulu. Tapi berhubung kami membawa logistik (punia yang dikonversi menjadi beberapa dus air mineral, kopi, gula dan telor), akhirnya kami diperbolehkan masuk oleh pihak Panitia. Dari pengamatan secara visual bisa jadi ada ribuan orang yang datang tangkil pada waktu bersamaan.

Bagi yang belum pernah tangkil ke pura, bisa kami gambarkan betapa magisnya Pura Penataran Pande Tamblingan saat itu, suci dan asri. Pada areal depan (jaba sisi) tampak adanya Prapen tempat yang digunakan untuk membuat senjata dan alat alat dari besi dan logam, pada areal atau jaba tengah ada Beji yaitu sumber air yang tak pernah habis dan pada area utama ada beberapa pelinggih tempat berstana Ida Betara Brahma, Lingga Yoni sebagai lambang kemakmuran dan juga Padma Capah. Pada kawasan paling atas, terdapat sebuah pohon suci yang disakralkan dan dipercaya sebagai tempat untuk menguji kekuatan keris yang dibuat oleh warga Pande Bangke Maong jaman dahulu, yaitu keris yang dioleskan racun sehingga siapa yang terkena bangkainya akan membusuk dan kotor seperti berjamur.

Pasca upacara, kami kembali merancang sebuah kegiatan ngayah serta mekemit di Pura Penataran Pande Tamblingan yang awalnya direncanakan pada tanggal 28 Juni 2010, namun karena keterbatasan waktu yang kami miliki maka jadwal dipindahkan ke tanggal 26 Juni 2010 malam minggu. Ada Sepuluh orang yang positif ikut serta. Saya, Pande Yadnya (Pande Bali) beserta istrinda Merlin, Novie, Dego Suryantara, Pande Lukis, Yogi Triana, Agus Pande, Koming Sri dan Bli Wayan Pande Tamanbali. Minus Putu Adi Susanta karena shift kerja yang tidak bisa digantikan serta Bli PanDe Baik yang harus menunggui putrinya dirawat di Rumah Sakit Sanglah.

Kami mengawalinya dengan persembahyangan yang kemudian dilanjutkan dengan tari-tarian dan bondres. Meskipun cuaca dingin dan kabutnya membasahi kepala kami tapi semeton Pande yang hadir saat itu tetap setia menonton. Yang unik, diantara pemain Bondres ada dua yang kami kenal betul selama proses tangkil dan ngayah, yaitu pak Dedes dan pak Wayan Balik. Hebat betul kedua orang ini. Mereka yang sedari awal pembangunan pura selalu ikut serta, tidak pernah pulang kerumah, tidur di tenda yang dibangun di luar pura, totaaaaaal ngayah dan sempat-sempatnya juga menghibur kami. Bukankah seharusnya kami yang menghibur mereka ? salut buat mereka.

Perubahan cuaca akibat pemanasan global menyebabkan dinginnya malam seakan menusuk tulang, meskipun sudah memakai jaket bulu tebal, tinggal di dalem mobil plus selimut, dingin masih terasa. Semeton Dego selain memakai kemben plus celana panjang, menyiapkan dirinya dengan sepasang kaus kaki tebal, sarung tangan dan penutup kepala, namun tetap aja kedinginan. Hahaha… Entah karena keampuhan doa yang kami panjatkan malam tersebut atau memang sudah ditakdirkan, hujan tak satupun yang turun jatuh ke bumi. Demikian pula dengan kabut yang biasanya menutupi pandangan kami juga tidak ada. Saya katakan demikian karena menurut informasi disekitaran Pura Penataran Pande Tamblingan, seperti Candi Kuning, hujan turun begitu derasnya.

Anehnya, hujan hanya turun pada tanggal 28 Juni pagi. Saat itu pak Wayan Balik membuka pintu Beji dan melukat disana. Spontan hujan turun dengan derasnya. Pak Dedes yang mengetahui hal tersebut sampe berteriak meminta pak Balik untuk keluar dari areal Beji. Begitu pintu Beji ditutup, hujan seketika mereda. Waaaahhh…

Beberapa semeton seperti Putu Yadnya, Pande Lukis dan Yogi Triana mencoba beraktifitas di prapen. Dibantu semeton Pande yang biasa mengerjakan keris, akhirnya mereka bertiga berhasil membuat sebuah mata tombak, yang kemudian dipasupati dan disimpan oleh Putu Yadnya. Hebat… Salut.

Ketika matahari pagi mulai memberikan kehangatannya, kami sempat berbincang dengan pak Dedes yang berpesan agar kami dapat dengan gigih memperjuangkan niat untuk mempersatukan semeton yowana Pande. Pesan ini sempat menimbulkan satu pertanyaan di kepala “Bisakah kami melakukan ini semua ? adakah orang lain seperti kami, hanya dengan niat untuk bisa berkumpul bersama meneruskan cita cita leluhur kami ?”

Kami memang harus yakin bahwa kami bisa mewujudkannya. Karena toh masih ada orang tua dan penglingsir yang akan membantu nantinya. Bahkan Pak Sutedja Neka yang kebetulan ikut hadir waktu itu pun sudah menyatakan siap membantu.

Siang mulai benderang, entah kemana perginya dingin yang kemarin malam menghantui kami, berganti dengan panas terik matahari yang nyatanya tak jua mampu mengeringkan niat kami. Sebelum upacara selesai sudah tekad kami tidak akan pamit.

Eedan Karya di Pura Penataran Pande Tamblingan diakhiri dengan upacara Penyineban, nuek dan mendem bagia. Oh iya, pada hari itu juga dibaca prasasti yang dibuat untuk mengingatkan kami nanti. Prasasti itu dibuat untuk menjawab isi prasasti yang terdahulu berangka tahun 1302 Saka, yang memerintahkan penduduk Pande Tamblingan yang cerai berai agar kembali ke Tamblingan. Permintaan prasasti itu baru terwujud pada tanggal 26 Juni 2010, dimana semeton Pande dari berbagai daerah sudah berkumpul dan bersatu. Om awighnam astu namo sidham. Berkat restu Ratu Bagus Pande.

Selesai sudah perjalanan karya dan perjuangan semeton Pande selama ini, kerja keras dan letih terbayar dengan suksesnya kegiatan pemelaspasan ini. Walaupun kami bukan bagian dari kerja keras itu, namun kami bangga dan merasa ikut memiliki. Pura Penataran Pande Tamblingan sudah serasa Rumah Kedua bagi kami dan kamipun akan datang kembali bersama semeton lain pada upacara bulan pitung dina atau 42 hari nanti. Semoga kelak kami bisa menyatukan Yowana Pande dalam sebuah wadah Yowana Paramartha Warga Pande seperti apa yang kami cita-citakan sejak lama. Semoga Ida Sang Hyang Widhi Waca, Tuhan Yang Maha Esa selalu berkenan membantu kami.

Matur Suksma.

I Wayan Putrawan, SH (Yande Putrawan)

Comments

Postingan Lain

Jodoh di Urutan ke-3 Tanda Pesawat IG

Kata Orangtua Jaman Now, Jodoh kita itu adanya di urutan ke-3 tanda pesawat akun IG.  Masalahnya adalah, yang berada di urutan ke-3 itu bapak-bapak ganteng brewokan berambut gondrong.  Lalu saya harus gimana ?  #jodohurutanketigadipesawat  Mestinya kan di urutan SATU ?

Mewujudkan Agenda Cuti Bersama Lebaran

Tampaknya di Hari terakhir Cuti Bersama Lebaran, sebagian besar rencana yang ingin dilakukan sejak awal liburan sudah bisa terwujud, meski masih ada beberapa agenda lainnya yang belum bisa dijalani.  Satu hal yang patut disyukuri, setidaknya waktu luang jadi bisa dimanfaatkan dengan baik untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan tertunda beberapa waktu lalu.  1. Migrasi Blog Aksi pulang kampung ke laman BlogSpot tampaknya sudah bisa dilakukan meski dengan banyak catatan minus didalamnya. Namun setidaknya, harapan untuk tidak lagi merepotkan banyak orang, kedepannya bisa dicapai. Sekarang tinggal diUpdate dengan postingan tulisan tentang banyak hal saja.  2. Upload Data Simpeg Melakukan pengiriman berkas pegawai ke sistem online milik BKD rasanya sudah berulang kali dilakukan sejauh ini. Termasuk Simpeg Badung kali ini, yang infonya dilakukan pengulangan pengiriman berkas dengan menyamakan nomenklatur penamaan file. Gak repot sih sebenarnya. Tapi lumayan banyak yang harus dilengkapi lagi. 

Warna Cerah untuk Hidup yang Lebih Indah

Seingat saya dari era remaja kenal baju kaos sampai nganten, isi lemari sekitar 90an persen dipenuhi warna hitam. Apalagi pas jadi Anak Teknik, baju selem sudah jadi keharusan.  Tapi begitu beranjak dewasa -katanya sih masa pra lansia, sudah mulai membuka diri pada warna-warna cerah pada baju atasan, baik model kaos oblong, model berkerah atau kemeja.  Warna paling parah yang dimiliki sejauh ini, antara Peach -mirip pink tapi ada campuran oranye, atau kuning. Warna yang dulu gak bakalan pernah masuk ke lemari baju. Sementara warna merah, lebih banyak digunakan saat mengenal ke-Pandean, nyaruang antara warna parpol atau merahnya Kabupaten Badung.  Selain itu masih ada warna hijau tosca yang belakangan lagi ngetrend, merah marun atau biru navy. Semua warna dicobain, mengingat hidup rasanya terlalu sederhana untuk dipakein baju hitaaaaam melulu.  Harapannya bisa memberikan warna pada hidup yang jauh lebih cerah, secerah senyum istri pas lagi selfie. 

Semua Berakhir di 5 Besar Teruna Teruni Denpasar 2024

Bermula dari coba-coba lalu masuk menjadi 5 Besar Finalis Teruna Teruni Denpasar Tahun 2024, putri kami Pande Putu Mirah Gayatridewi ternyata masih berusia 15 Tahun saat Grand Final dilaksanakan di Gedung Dharma Negara Alaya Lumintang Kota Denpasar, hari Minggu 18 Februari 2024 kemarin. Berhasil menyisihkan puluhan peserta dengan tingkat prestasi berskala Kab/Kota, Provinsi dan Nasional, ia mendapatkan undangan dari Panitia TTD untuk mengikuti perhelatan bergengsi ini, pasca meraih Juara Pertama Teruna Bagus Teruni Jegeg Sisma -SMAN 7 Denpasar Tahun 2023 lalu. Sehingga batas bawah Umur Peserta yang seharusnya 16 Tahun, infonya ditoleransi mengingat usianya sudah jalan menuju angka 16 sebulan kedepan.  Meski hanya sampai di peringkat 5 Besar, kami semua turut bangga mengingat ini adalah kali pertama putri kami mengikuti ajang tingkat Kab/Kota, menjadikannya sebagai Finalis Termuda diantara peserta lainnya. Bahkan kami dengar, merupakan siswa pertama di sekolahnya yang lolos hingga jenja

62 Tahun Bang Iwan Fals

Pekan ini Bang Iwan Fals kalau gak salah genap berusia 62 tahun. Umur yang gak muda lagi meski masih sering melahirkan karya-karya baru bareng anak-anak muda milenial.  Saya mengenal lagu-lagu Bang Iwan tepatnya di era Album Wakil Rakyat. Sebuah karya jelang Pemilu 1988 yang mengetengahkan lagu soal para legislatip yang biasa bersafari, dengan keragaman perilaku mereka di jaman itu.  Lirik lagunya tergolong sederhana, dan aransemennya juga mudah diingat. Gak heran di jaman itu pula, saya kerap membawakan lagu Wakil Rakyat sebagai lagu kebanggaan pas didaulat nyanyi didepan kelas, didepan 40an anak kelas 4 atau 5 kalau gak salah.  Dan ada juga beberapa karya sang musisi, yang dibawakan sesekali macam Kereta Tua atau Sore Tugu Pancoran yang bercerita soal si Budi kecil.  Terakhir menyukai karya Bang Iwan kalau ndak salah di album Suara Hati (2002). Yang ada track Untuk Para Pengabdi dan Seperti Matahari. Dua lagu favorit saya di album itu. Setelahnya hanya sebatas suka mendengar sebagian