Skip to main content

Keris dan Budaya Masyarakat Bali

Informasi berikut saya ambil dari tulisan milik Suryono Suryodirdjo yang dimuat dalam majalah Keris Volume 18 Tahun 2010 ‘Ketika Keris Bali Masih Sakral’. Adapun tujuan pengambilan tulisan adalah dalam rangka pembelajaran sebelum pelaksanaan DharmaWecana tentang Keris pada tanggal 15 Agustus 2010 nanti di Museum Keris Neka, Sanggingan Ubud.

* * *

Mengamati sebilah keris, seperti membaca kumpulan cerita dan mantra doa. Tidak hanya di Jawa, tapi juga di wilayah Indonesia lainnya – bahkan di negeri tetangga seperti Malaysia. Bagi masyarakat Bali, keris adalah sebuah simbol kekuatan leluhur dan alam semesta. Kendati ada sebagian kecil masyarakat Bali yang sudah memulai memperdagangkan keris seperti yang terjadi di Pulau Jawa, namun rata-rata mereka masih menjunjung tinggi makna dan nilai sebilah keris.

Apalagi untuk keris pusaka warisan leluhur, orang Bali sangat mengeramatkannya. Umumnya, mereka memesan keris untuk keperluan upacara dan ritual keagamaan. Misalnya saja, untuk menghadiri upacara pernikahan, upacara mecaru, pangayu-ayu, ngusaba atau piodalan di Pura. Bahkan di sejumlah Pura tertentu, para pemedek (umat) diwajibkan nyungklit sebilah keris.

Upacara piodalan Tumpak Landep misalnya, jelas-jelas suatu upacara penghormatan masyarakat Bali terhadap benda pusaka yang terbuat dari besi – terutama keris. Inilah upacara untuk menghormati Sang Hyang Pasupati, yang turun ke bumi dan memberikan kekuatan dan perlindungan kepada umat manusia dalam bentuk senjata logam. Upacara ini diselenggarakan dua kali dalam setahun yang selalu jatuh pada Wuku Landep. Dalam penanggalan Bali, Wuku Landep akan ditemui dua kali dalam satu tahun penanggalan Masehi yang didasarkan pada perputaran matahari. Upacara piodalan Tumpak Landep selalu diadakan pada Sabtu Kliwon di Wuku Landhep, yang diyakini sebagai waktu bagi Sang Hyang Pasupati menyebarkan berkah kekuatan ke mayapada.

Tari Ngunying atau Ngurek yang sakral adalah contoh lain tentang keakraban masyarakat Bali dengan pusaka yang ber­nama keris. Tarian keris yang terkesan mengiriskan hati ini – karena para penari menusuk-nusukkan keris ke tubuhnya- kabarnya dimulai pada jaman kejayaan kerajaan. Konon sang raja ingin membuat pesta yang tujuannya untuk menunjukkan rasa syukur kepada Sang Pencipta dan sekaligus menyenangkan hati para prajuritnya. Setelah dilakukan sejumlah upacara, kemudian memasuki tahap hiburan – mulai dari sabung ayam, hingga tari-tarian yang menunjukkan kedigdayaan para prajurit Kesiman. Maka dari tradisi ini muncullah Tari Ngunying atau Tari Ngurek yang sangat kesohor itu.

Tari Ngurek atau Ngunying di Kesiman Denpasar Timur ini hingga kini masih dilestarikan oleh masyarakat Bali. Di Pura Pengerebongan Kesiman misalnya, tradisi menari setengah trance dengan menggunakan keris, pada zamannya hanya dilakukan oleh para pemangku. Namun kini orang yang melakukan Ngurek tak lagi dibedakan statusnya – bisa pemangku, penyungsung pura, anggota krama desa, tokoh masyarakat,  laki-laki dan perempuan. Tapi suasananya tetap, yaitu mereka melakukannya dalam keadaan kerauhan atau trance. Kendati keris yang terhunus itu ditancapkan dengan keris di tubuh, tidak setitikpun darah keluar.

Kini Tari Ngurek atau Ngunying bisa dijumpai di sejumlah daerah di Bali. Tradisi ini umumnya berkaitan erat dengan ritual keagamaan. Bahkan, di sejumlah desa adat di Bali tradisi ini wajib dilangsungkan. Tari Ngunying yang paling unik agaknya yang diadakan di Sanur, karena para penarinya adalah masyarakat sekitarnya. Semuanya membawa keris. Menarik, karena jumlah penarinya cenderung bersifat massal. Penyelenggaraan tari ini dilakukan dua kali dalam setahun – sebagai ujung dari rangkaian upacara keagamaan.

Tidak hanya saat pujawali di Pura, Tari Ngurek juga ter­dapat dalam prosesi ngerebong di Pura Petilan Kesiman. Dalam upacara itu, jumlah orang yang ngayah ngurek sangat banyak ketika prosesi itu berlangsung. Bedanya, dalam upacara dewa yadnya ngeramen, Ngurek dilakukan oleh para pemangku dan penyungsung pura. Dalam upacara ngerebong, Ngurek dilakukan oleh sembarang orang. Siapa saja bisa ikut Tari Ngunying, asalkan memang mereka betul-betul dalam kondisi kerauhan.

Penggunaan keris dalam kehidupan masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu, hingga kini memang masih sangat melekat. Salah satu contoh, ketika ada keluarga atau seseorang akan mendirikan rumah, maka sebelum mulai peletakan batu pertama, harus dilakukan suatu ritual yang antara lain menggunakan keris sebagai sarana utamanya. Keris harus ditusukkan ke bumi, dimana bangunan rumah akan didirikan.

Dalam penyembelihan binatang misalnya, sebelum dipotong dengan pisau atau golok, maka hewan itu harus ditusuk atau ditikam dengan sebilah keris. Masih sangat banyak hal-hal dalam sendi-sendi kehidupan warga Bali yang tak bisa dipisahkan dengan keris. Seputar perkawinan misalnya, tentu saja selalu menggunakan keris. Bahkan ketika mempelai pria berhalangan karena sakit, sementara hari resepsi pernikahan sudah ditetapkan, maka sebilah keris bisa dianggap mewakili sang mempelai lelaki.

Itulah antara lain pandangan masyarakat Bali saat ini dalam menempatkan keris sebagai simbolisasi berkah kekuatan dari Sang Pencipta. Namun tentu saja, tetap ada sekelompok kecil warga – umumnya para pedagang – yang juga memperjualbelikan keris. Di sejumlah art shop dan galeri di Bali tersedia keris-keris yang dijajakan, namun itu hanya keris-keris souvenir yang dibuat secara kodian atau masif – itupun didatangkan dari Jawa atau Madura. Keris-keris ini umumnya ditujukan bagi para wisatawan asing yang ingin membeli cinderamata dari Bali. Jadi tak bisa dipungkiri, bahwa masyarakat Bali jelas secara umum lebih dekat dengan keris ketimbang masyarakat lain di Indonesia.

Comments

Postingan Lain

Jodoh di Urutan ke-3 Tanda Pesawat IG

Kata Orangtua Jaman Now, Jodoh kita itu adanya di urutan ke-3 tanda pesawat akun IG.  Masalahnya adalah, yang berada di urutan ke-3 itu bapak-bapak ganteng brewokan berambut gondrong.  Lalu saya harus gimana ?  #jodohurutanketigadipesawat  Mestinya kan di urutan SATU ?

Mewujudkan Agenda Cuti Bersama Lebaran

Tampaknya di Hari terakhir Cuti Bersama Lebaran, sebagian besar rencana yang ingin dilakukan sejak awal liburan sudah bisa terwujud, meski masih ada beberapa agenda lainnya yang belum bisa dijalani.  Satu hal yang patut disyukuri, setidaknya waktu luang jadi bisa dimanfaatkan dengan baik untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan tertunda beberapa waktu lalu.  1. Migrasi Blog Aksi pulang kampung ke laman BlogSpot tampaknya sudah bisa dilakukan meski dengan banyak catatan minus didalamnya. Namun setidaknya, harapan untuk tidak lagi merepotkan banyak orang, kedepannya bisa dicapai. Sekarang tinggal diUpdate dengan postingan tulisan tentang banyak hal saja.  2. Upload Data Simpeg Melakukan pengiriman berkas pegawai ke sistem online milik BKD rasanya sudah berulang kali dilakukan sejauh ini. Termasuk Simpeg Badung kali ini, yang infonya dilakukan pengulangan pengiriman berkas dengan menyamakan nomenklatur penamaan file. Gak repot sih sebenarnya. Tapi lumayan banyak yang harus dilengkapi lagi. 

Menantu Mertua dan Calon Mertua

Menonton kembali film lama Meet the Parents (2000) yang dibintangi oleh Ben Stiler dan Robert De Niro, mengingatkan saya betapa terjalnya perjalanan seorang calon menantu untuk mendapatkan kepercayaan sang calon mertua, atas putri kesayangan mereka yang kelak akan diambil menjadi seorang istri dan pendamping hidup. Meski ‘kekejaman’ yang ditunjukkan oleh sang calon mertua dalam film tersebut *sosok bapak* jauh lebih parah dari yang saya alami, namun kelihatannya cepat atau lambat, akan saya lakoni pula nantinya. Memiliki tiga putri yang salah satunya sudah masuk usia remaja, adalah saat-saat dimana kami khususnya saya sudah sewajarnya masuk dalam tahapan belajar menjadi seorang kawan bagi putri sulung saya satu ini. Mengingat ia kini sudah banyak bertanya perihal masa lalu yang saya miliki, baik soal pendidikan atau sekolah, pergaulan dan hobi. Memang sih untuk urusan pacar, ia masih menolak berbicara lebih jauh karena berusaha tak memikirkannya, namun sebagai seorang Bapak, ya wajar s

Warna Cerah untuk Hidup yang Lebih Indah

Seingat saya dari era remaja kenal baju kaos sampai nganten, isi lemari sekitar 90an persen dipenuhi warna hitam. Apalagi pas jadi Anak Teknik, baju selem sudah jadi keharusan.  Tapi begitu beranjak dewasa -katanya sih masa pra lansia, sudah mulai membuka diri pada warna-warna cerah pada baju atasan, baik model kaos oblong, model berkerah atau kemeja.  Warna paling parah yang dimiliki sejauh ini, antara Peach -mirip pink tapi ada campuran oranye, atau kuning. Warna yang dulu gak bakalan pernah masuk ke lemari baju. Sementara warna merah, lebih banyak digunakan saat mengenal ke-Pandean, nyaruang antara warna parpol atau merahnya Kabupaten Badung.  Selain itu masih ada warna hijau tosca yang belakangan lagi ngetrend, merah marun atau biru navy. Semua warna dicobain, mengingat hidup rasanya terlalu sederhana untuk dipakein baju hitaaaaam melulu.  Harapannya bisa memberikan warna pada hidup yang jauh lebih cerah, secerah senyum istri pas lagi selfie. 

Semua Berakhir di 5 Besar Teruna Teruni Denpasar 2024

Bermula dari coba-coba lalu masuk menjadi 5 Besar Finalis Teruna Teruni Denpasar Tahun 2024, putri kami Pande Putu Mirah Gayatridewi ternyata masih berusia 15 Tahun saat Grand Final dilaksanakan di Gedung Dharma Negara Alaya Lumintang Kota Denpasar, hari Minggu 18 Februari 2024 kemarin. Berhasil menyisihkan puluhan peserta dengan tingkat prestasi berskala Kab/Kota, Provinsi dan Nasional, ia mendapatkan undangan dari Panitia TTD untuk mengikuti perhelatan bergengsi ini, pasca meraih Juara Pertama Teruna Bagus Teruni Jegeg Sisma -SMAN 7 Denpasar Tahun 2023 lalu. Sehingga batas bawah Umur Peserta yang seharusnya 16 Tahun, infonya ditoleransi mengingat usianya sudah jalan menuju angka 16 sebulan kedepan.  Meski hanya sampai di peringkat 5 Besar, kami semua turut bangga mengingat ini adalah kali pertama putri kami mengikuti ajang tingkat Kab/Kota, menjadikannya sebagai Finalis Termuda diantara peserta lainnya. Bahkan kami dengar, merupakan siswa pertama di sekolahnya yang lolos hingga jenja