Informasi berikut merupakan lanjutan dari makalah ‘Sebuah Logika Kultural Tentang Keris’ yang disampaikan dalam diskusi ilmiah ‘Keris dalam Perspektif Keilmuan’ 17-18 November 2009 di ISI Surakarta dan ditulis oleh Tony Rudyansjah seorang Pengajar dan Sekretaris Program Pascarasjana Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Adapun tujuan pengambilan tulisan adalah dalam rangka pembelajaran sebelum pelaksanaan DharmaWecana tentang Keris pada tanggal 15 Agustus 2010 nanti di Museum Keris Neka, Sanggingan Ubud.
* * *
Selama masa ‘pencarian’ keris dengan khodam (gaib) itu, si pelaku selalu mendapatkan pesan gaib dari leluhurnya. Si pelaku harus bisa membaca dan menangkap makna sejatinya yang tersembunyi di balik berbagai pesan gaib tersebut. Ujian terberat yang dihadapinya dimaksudkan justru untuk bisa mengungkap makna tertinggi dari esensi kehidupan yang rutin dilakoni si pelaku dengan berbagai rintangan dan hambatan tidak ringan yang menyertainya.
Selama terus melakukan proses melakoni itu, si pelaku berupaya menjaga keberlangsungan komunikasinya dengan leluhur yang memberinya berbagai macam petunjuk untuk melewati ujian berat yang dilakukannya. Perlu ditekankan di sini bahwa selama masa proses pencarian keris itu, banyak dari petunjuk-petunjuk yang diperoleh harus diolah dan diterjemahkan dengan mata batin, yang tujuan sungguhnya dapat disimpulkan untuk melatih kepekaan batin manusia agar dapat memahami berbagai hal tersembunyi di dalam alam kehidupan dan jati diri manusia, sehingga makna terdalamnya dapat diungkapkan dan dimengerti.
Esensi tertinggi dari kenyataan kehidupan adalah keunggulan kualitas moral dan spiritual satu bentuk kehidupan tertentu, termasuk bentuk kehidupan seorang pribadi manusia. Keris dengan khodam-nya dianggap berasal dari satu keutamaan yang merefleksikan keunggulan moral/spiritual satu bentuk kehidupan. Inilah yang dianggap sebagai esensi tertinggi dari kehidupan. Segala sesuatu yang dianggap sangat berharga, seperti keris, adalah tidak lebih daripada itu. la merupakan hanya cerminan dari esensi tersebut.
Esensi (keutamaan) hidup itu acapkah tidak nampak buat orang kebanyakan, karena berada tersembunyi di batik alam semesta ini. Hanya dengan melakukan lelakon yang berat dan ketat, seseorang berhasil menangkap dan memperoleh makna terdalam dari esensi atau keutamaan hidup tersebut. Eling adalah istilah yang seringkali digunakan orang Jawa untuk menggambarkan pemahaman tertinggi yang dicapai mengenai esensi kehidupan setelah seseorang berhasil mempraktekkan satu disiplin olah batin (baca: lelakon) yang penuh dengan berbagai rintangan dan cobaan berat.
Dengan lelakon yang dipraktekkan, seorang pelaku akan berpartisipasi bersama esensi dari kekuatan gaib yang ada di alam semesta. Dan hanya dengan begitu seseorang baru bisa menemukan atau memperoleh keris yang sedang ia cari, sekaligus makna terdalam yang terkandung secara tersembunyi di dalamnya. Pencarian keris itu sendiri sesungguhnya merupakan satu pencarian batin atau jati diri, satu lelakon, satu spiritual journey. Misteri kehidupan di alam semesta baru dapat diungkapkan, setelah si pelakunya berhasil mengolah alam batinnya sendiri secara baik. Pada tahap itulah makro kosmos jadi sama dengan mikro kosmos.
Eling atau sadar akan keutamaan keunggulan kualitas moral dan spiritualitas leluhur
Manakala sedang melakoni, seseorang tidak hanya diingatkan akan keunggulan kualitas moral dan spiritual jati diri manusia yang sesungguhnya merupakan esensi dari kehidupan, ia juga secara langsung diingatkan akan keunggulan kualitas moral dan spiritual leluhurnya yang seringkali mendampinginya dalam proses pencarian olah batin itu. Dalam masa lelakon itulah ia merasa turut berpartisipasi di dalam keunggulan kualitas moral dan spiritual esensi hidup. Tidak hanya turut berpartisipasi, bahkan ia turut mempraktekkan atau memproduksinya di dalam tindakan nyata di dunia sehari-harinya. Pada saat itulah ia menjalin kesinambungan jati dirinya dengan keunggulan kualitas moral dan spiritual para leluhurnya yang hidup di masa lampau. Masa lampau dan masa kini mungkin untuk saling menyatu dan berpadu di dalam lelakon dari orang yang sedang mempraktekkannya.
Keris, dengan demikian, mengandung nilai yang tinggi karena ia memungkinkan manusia menjalin solidaritas moral yang jauh melampui hambatan batas-batas ruang dan waktu. Keris dengan berbagai lelakon yang wajib dilaksanakan, juga pada saat keris itu sendiri sudah dimiliki seseorang, memungkinkan terwujudnya satu komunitas moral yang mampu menembus hambatan batas-batas ruang dan waktu. Di sinilah terletak nilai tak terhingga dari keris yang ada dalam khasanah kebudayaan kita.
Comments
Post a Comment