Waktu sudah menunjukkan pukul 10.00 wita namun belum jua ada tanda-tanda dimulainya Dharmawacana Yowana Paramartha Warga Pande dari pihak Panitia. Meskipun beberapa narasumber telah hadir, rupanya panitia masih menunggu kehadiran Kompyang Wisastra Pande, Ketua Umum Maha Semaya Warga Pande Propinsi Bali yang direncanakan membuka kegiatan Dharmawacana.
Beberapa Panitia dari Yowana bahkan sudah mulai menampakkan kegelisahannya terkait jumlah peserta yang hadir dikhawatirkan tidak mencapai 200 orang seperti tantangan Pengurus Harian Maha Semaya Warga Pande saat rapat bersama pada upacara 42 hari Pura Pentaran Pande Tamblingan waktu lalu.
Molor 2 (dua) jam, kegiatan dharmawacana baru bisa dilaksanakan. Meski demikian mundurnya waktu pelaksanaan tidak terlalu dirasakan lantaran sebelum Dharmawacana dimulai, baik peserta maupun beberapa Panitia dipersilahkan melihat-lihat Koleksi Keris Tangguh dan Kamardikan yang dipajang di Museum Seni Neka.
Wacana Babad dan Prasasti Pande yang dibawakan oleh ‘Sira Mpu Sri Dharmaphala Vajrapani’ saking Grya Taman Saraswati, Tunggak-Bebandem-Karangasem merupakan topik pertama Dharmawacana Yowana Paramartha Warga Pande 15 Agustus 2010 yang dilaksanakan di Museum Seni Neka, Sanggingan Ubud. Babad Pande ini menceritakan tentang sejarah awal mula Warga Pande baik sebelum maupun sesudah masa kedatangan Majapahit ke tanah Bali hingga saat Warga Pande Beng menggugat Raja Gianyar pada tahun 1911.
Wacana kedua dilanjutkan oleh Pande Wayan Suteja Neka yang mengetengahkan tentang Upaya Pelestarian Keris di Museum Neka relevansinya dengan Dharma Kepandean. Beberapa koleksi yang menarik perhatian seperti keris Ki Baju Rante dari Puri Karangasem, keris Ki Gagak Petak, keris Ki Blanguyang dari Puri Gianyar atau keris Ki Pijetan dari kerajaan Pejeng merupakan bagian dari upaya pelestarian tersebut agar tidak lari ke tangan kolektor luar negeri. Pada sesi ini ditayangkan pula video cara pembuatan keris yang sebetulnya dapat pula diunduh melalui portal penyedia video dunia maya, YouTube.
Dari dua pemaparan sesi pertama diatas tampaknya tidak semua Peserta bisa memahami dengan baik maksud dan isi wacana yang disampaikan berhubung terkendala bahasa. Adapun bahasa yang digunakan adalah bahasa Bali halus Singgih yang sudah mulai dianggap sebagai bahasa asing oleh sebagian besar generasi muda masa kini. Ketidakpahaman inilah yang barangkali menjadi salah satu alasan beberapa Yowana tampak meninggalkan lokasi kegiatan ketimbang melanjutkannya ke sesi selanjutnya. Meski demikian, sesaat sebelum sesi berakhir, didapatkan informasi bahwa target jumlah Peserta yang tercatat melampaui angka 200 orang. Wiiiihhh…
Memasuki sesi selanjutnya pasca makan siang, diambil alih oleh Ketut Sunadra, Sekretaris Maha Semaya Warga Pande Propinsi Bali yang memperkenalkan keberadaan organisasi Maha Semaya Warga Pande sedari awal pembentukan (tahun 1975) hingga kabar terkini. Pemaparan Beliau ini sempat pula menyinggung sedikit tentang beberapa Bhisama yang dianggap penting untuk diketahui. Pada sesi ini pula permintaan kendala bahasa baru dapat disampaikan, bersyukur Beliau mengerti dan memahaminya.
Prof. Dr. Nyoman Weda Kusuma selaku Ketua I Bidang Tata Keagamaan yang sedianya direncanakan sebagai narasumber pertama Dharmawacana terkait Bhisama, mengambil alih sesi berikutnya dengan batasan waktu yang cukup singkat. Pada sesi ini Beliau sempat menekankan terkait Bhisama Warga Pande dalam pelaksanaan Dharma Agama dan Dharma Negara, dimana percerminan Bhisama yang sempat saya ingat adalah sebagai berikut :
- Bhisama Pertama tentang Pura Besakih dan Penataran Pande di Besakih menekankan asas Ketuhanan Yang Maha Esa
- Bhisama Kedua tentang Ajaran Panca Bayu menekankan kemampuan diri yang harus terus diasah demi kepentingan orang banyak
- Bhisama Ketiga tentang Asta Candhala menekankan perilaku yang Taat dengan Hukum yang berlaku
- Bhisama Keempat tentang Larangan memakai Tirtha Pedanda menekankan unsur Keadilan bagi semua pihak
- Bhisama Kelima tentang Pesemetonan Warga Pande menekankan Kesatuan antar Warga Pande yang harus diwujudkan dimasa depan
Begitu pemaparan dari para narasumber berakhir, Komang Suarsana selaku Ketua Yowana Paramartha Propinsi Bali yang didaulat sebagai Moderator selama Dharmawacana berlangsung, melanjutkan sesi Diskusi dimana pada awalnya diharapkan semua pertanyaan yang barangkali masih mengganjal terkait Babad, Prasasti dan Bhisama Warga Pande juga Keris dapat ditemukan jawabannya. Sayang, keterbatasan waktu yang barangkali sudah dianggap cukup lama sebagai kegiatan perdana Yowana ini hanya cukup untuk menjawab tiga pertanyaan yang salah satunya direaksi menarik oleh para Peserta Dharmawacana.
Apalagi kalo bukan ‘aksi keseimbangan dari bilah keris yang diberdirikan secara tegak baik dalam posisi normal (dengan menggunakan danganan/handle/pegangan keris sebagai alas) maupun dalam posisi terbalik (dengan menggunakan ujung bilah keris di sisi bawah). Rupanya banyak Peserta masih tidak percaya dengan ‘posisi keris yang mampu berdiri tegak seperti yang pernah kami saksikan saat kunjungan pertama ke Museum Neka bulan lalu.
Meskipun masih menyisakan kekecewaan lantaran sedikitnya waktu yang dapat dimanfaatkan untuk Dharmawacana perdana (dan juga sesi diskusi) ini, rata-rata Peserta dan juga para narasumber beserta pengurus Maha Semaya malah menginginkan agar kegiatan serupa dapat dilaksanakan secara berkala sebagai pencerahan pikiran bagi seluruh Warga Pande. Ini merupakan satu pekerjaan rumah yang cukup berat bagi kami, mengingat apa yang sudah mampu terwujudkan merupakan salah satu buah positif dari sebuah kemajuan teknologi informasi. Semoga saja.
Ohya, untuk Dokumentasi terkait pelaksanaan Dharmawacana Yowana Paramartha ini dapat dilihat disini.
Comments
Post a Comment