Skip to main content

Kenangan Bangku Kuliah Teknik Arsitektur era 90an Akhir

Kampus Bukit Jimbaran yang saya ingat, tanahnya masih gersang dan berwarna coklat. Beberapa pohon Ketapang berjejer menghiasi area parkir yang terletak di sisi kiri gedung utama Fakultas Teknik. Jika beruntung, kalian masih bisa menemukan pohon Juwet dan Singapur yang menyajikan buah khas dan kini sudah tergolong jarang ada. Sementara sisi kanan ada beberapa warung vietkong -begitu kami menamakannya- milik masyarakat yang sudah menyiapkan belasan nasi bungkus, mie instant dan jajanan remaja, sebagai bekal perut selama perkuliahan utamanya bagi mereka yang tak sempat sarapan.

Ya, ini keseharian kami, mahasiswa Arsitektur Universitas Udayana yang hampir setiap hari dijejali tugas kuliah, baik exact maupun yang membutuhkan pemikiran seni juga kreatifitas, menghabiskan malam hingga pagi berikutnya, agar semua tugas bisa selesai sebagai harapan, lalu lanjut perkuliahan tanpa menyempatkan diri untuk makan pagi bahkan mandi. Gak heran, beberapa kawan menampakkan wajah kusut dan lelah, sesaat setelah memarkirkan kendaraannya di sekitar area kampus.


Ruang perkuliahan Arsitektur berada cukup jauh dari parkiran utama. Itu sebabnya, beberapa mahasiswa mencoba melanggar ketentuan baku memarkirkan motor atau mobil keren mereka sedikit lebih dekat melalui jalur samping sisi utara. Saya termasuk yang ketularan ketika masa perkuliahan memasuki semester besar. Sementara jurusan Sipil berada di sebelah kami, Elektro di sisi depan dan Mesin, aduh lupa gedung yang mana.

Untuk mengakses ruang kuliah, kami perlu berjalan kaki cukup jauh melalui jalur beton yang menyambungkan area satu gedung dengan gedung lainnya tanpa adanya atap yang menaungi di sepanjang jalan. Bagi kaum lelaki teknik macam kami, ini adalah hal yang biasa. Tapi bagi kaum perempuan, tentu agak menyiksa apalagi yang memiliki keperluan bolak balik gedung administrasi di waktu siang hari sembari mengejar jam kuliah. Gak heran secara perawakan mahasiswa teknik di jaman itu rerata kurus langsing, dan berkulit gelap.

Kampus bukit tahun 90an akhir masih bisa dicapai dengan menggunakan bemo atau bus kampus. Kalau beruntung mendapatkan tempat duduk, masih bisa bersantai dan mencuri waktu istirahat sepanjang jalan, tidak demikian halnya bagi mereka yang kedapatan berdiri di area tengah bus milik Damri. Mereka yang memiliki kebiasaan mampir saat perjalanan pulang, biasanya lebih suka membawa kendaraan sendiri baik motor maupun mobil. Beberapa diantaranya ada juga yang patungan bensin, nebeng bareng kawan seangkatan yang memiliki kendaraan kapasitas besar. Bahkan ada juga yang memungut bayaran menggunakan mobil pribadi mereka. Semua demi kuliah pagi, kalau kata grup band Harapan Jaya di masa itu.

Fakultas Teknik Arsitektur memiliki beberapa dosen killer. Yang sejak awal perkuliahan sudah menjadi legend di kalangan kami para mahasiswa, didengungkan oleh mereka para kakak tingkat yang tampaknya sudah kenyang pengalaman merasakan didikan secara langsung. Bahkan saking bermasalahnya para mahasiswa dengan dosen pengajarnya, ada yang usil menyembunyikan kunci motor bahkan mengunci ruang kuliah atau bolos meninggalkan kelas. Meski pernah agak khawatir, dan seiring beranjaknya usia, para dosen ini malah jadi teman bagi kami yang secara tidak sengaja mampu masuk ke pembicaraan mereka. Saya sendiri pernah mengalami masa-masa rentan, meski akhirnya bisa berdamai dan memaklumi bahwa perilaku bapak ibu dosen memang wajar demikian adanya jika kalian masih berada di bangku perkuliahan.

Masa-masa ujian adalah salah satu tantangan terbesar bagi kami, para mahasiswa Arsitektur. Apalagi kalau mata kuliah yang dijadwalkan mewajibkan kami membawa mesin gambar dari rumah, mengingat kampus Teknik di jaman itu, hanya menyediakan sekian banyak meja gambar bagi para mahasiswa di beberapa kelas studio tertentu. Jadi tantangan, karena H-1 kami sudah berlomba mengkaveling meja kualitas terbaik, bahkan ada juga yang berkelompok, karena kami masih mempercayai motto -Posisi menentukan Prestasi. Sudah membawa dan memasang mesin gambar mewah bermerek Mutoh, lalu melabeli meja dengan nama mereka. Saya pribadi tergolong cuek dan gak ikutan heboh, hanya datang lebih awal agar bisa memasang mesin bandul murahan berukuran kecil merek Dali, satu-satunya mesin gambar yang dimiliki sepanjang masa perkuliahan dengan harga baru 300ribuan saja jaman itu. Bandingkan dengan mesin gambar tracker Mutoh yang di era itu sudah berharga 2 jutaan lebih.
Bersyukur mesin ini bisa menemani hingga jelang tugas akhir atau skripsi, yang mana saya berkesempatan mencoba menggunakan aplikasi AutoCad 14 untuk mendukung studio gambar pada masa akhir perkuliahan.

Nyaris 20 tahun meninggalkan bangku perkuliahan di Kampus Bukit Jimbaran, memberikan banyak kenangan manis dan juga pahit yang hingga hari ini masih suka saya ceritakan pada anak-anak. Bagaimana cerita kami selama menjalani masa belajar tanpa lelah begadang, dan menyambangi warung lokal ataupun pasar tradisional pukul 2 atau 3 pagi, saat secara tak sengaja melintasi jalanan yang sama menuju Jimbaran satu kali waktu. Atau yang bergaya sok-sok-an di jalan raya sambil menyandang bazooka, pipa paralon berukuran 1,5 meter dibalut kulit imitasi, berisikan belasan lembar gambar berukuran A3 manila atau A0 kalkir, tugas gambar masa kuliah ataupun hasil kerja sampingan yang biasanya sudah kami lakoni semenjak semester 3. Termasuk kebiasaan buruk mengenal batang rokok lantaran gabut di malam hari demi mencegah kantuk atau mumet mencari ide gambar saat senggang. Dan tidak lupa, keberadaan Pak Nyanglung, Dekan 4 -demikian kami menjuluki Beliau, dumogi Amor ing Acintya- yang sempat membela saya saat dituduh mengambil hard disk komputer pc milik pak Dekan di gedung utama bukit jimbaran tahun 2000an silam, pasca hebohnya kejadian dan penggeledahan tas serta penemuan obeng di masa pelaksanaan tugas akhir. Ya, berhubung masa itu saya memanfaatkan aplikasi untuk studio, bolak-balik membawa kotak pc agar bisa berprogress baik di rumah maupun kampus, nyatanya memang memerlukan obeng untuk menyambungkan kabel vga monitor ke slot pc. Apes bener.

Aniway, Selamat Ulang Tahun ya Prodi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana yang ke-60 tahun. Ternyata sudah sematang itu ya ?

Dan saya sebagai barisan para mantan, yang beryukur masih bisa mengingat nomor induk 9508220006, merasa bangga pernah menjadi bagian dari civitas akademika era 90an akhir, meski kini sudah tidak lagi berkecimpung di dunia arsitektur dan hiruk pikuknya.

Terima Kasih saya haturkan untuk Bapak Ibu para dosen, pengajar, pembimbing akademik, pembimbing skripsi dan juga penguji, serta para bapak ibu staf administrasi di gedung teknik yang dulu mungkin pernah saya marahi. Mohon dimaafkan semua kesalahan yang pernah saya lakukan baik sengaja maupun tidak, yang kurang berkenan di hati bapak ibu semua. Tidak lupa untuk rekan-rekan yang dulu pernah kuliah di Arsitektur Udayana angkatan 95, adik-adik maupun kakak tingkat, yang lulus kuliah ataupun tidak, Terima Kasih atas pertemanan yang pernah ada, yang sudah membentuk karakter kita masing-masing hari ini. Tetap jaga kesehatan dan Mari menua bersama.

Sukses untuk Prodi Arsitektur.

Penulis :
Pande Nyoman Artawibawa
Mahasiswa Arsitektur Teknik Udayana Angkatan 1995
www.pandebaik.com

Tulisan ini saya sampaikan ke Prodi Arsitektur Teknik Udayana, atas undangan penulisan sukarela dalam agenda ulang tahun ke 60 Prodi Arsitektur.

Semoga berkenan...

Comments

  1. Sukaaaaaa😍😍

    ReplyDelete
  2. Mantap braderku, hal yg dulu membuat kita sekarang, pertemanan, persahabatan, persaudaraan

    ReplyDelete

Post a Comment

Postingan Lain

Jodoh di Urutan ke-3 Tanda Pesawat IG

Kata Orangtua Jaman Now, Jodoh kita itu adanya di urutan ke-3 tanda pesawat akun IG.  Masalahnya adalah, yang berada di urutan ke-3 itu bapak-bapak ganteng brewokan berambut gondrong.  Lalu saya harus gimana ?  #jodohurutanketigadipesawat  Mestinya kan di urutan SATU ?

Pengetahuan kecil tentang soroh PANDE

Sekali-sekali saya selaku penulis seluruh isi blog ini pengen juga ber-Narzis-ria, satu hal yang jarang saya lakukan belakangan ini, sejak dikritik oleh seorang rekan kantor yang kini jadi malas berkunjung lantaran Narzis tadi itu.  Tentu saja postingan ini bakalan berlanjut ke posting berikutnya yang isinya jauh lebih Narzis. Mohon untuk dimaklumi. *** PANDE merupakan salah satu dari empat soroh yang terangkum dalam Catur Lawa (empat daun teratai) Pasek, Pande, Penyarikan dan Dukuh- yang memiliki keahlian dalam urusan Teknologi dan Persenjataan. Ini bisa dilihat eksistensi pura masing-masing di Besakih, yang memiliki tugas dan fungsi yang berbeda-beda dalam berbagai kegiatan Ritual dan Spiritual. Dimana Pura Pasek menyediakan dan menata berbagai keperluan upakara, Pura Pande menata segala peralatannya. Pura Penyarikan menata segala kebutuhan tata usaha administrasi agar segala sesuatu berjalan dengan teratur. Sedangkan Pura Dukuh Sakti sebagai penata berbagai keperluan sandang pan...

Mewujudkan Agenda Cuti Bersama Lebaran

Tampaknya di Hari terakhir Cuti Bersama Lebaran, sebagian besar rencana yang ingin dilakukan sejak awal liburan sudah bisa terwujud, meski masih ada beberapa agenda lainnya yang belum bisa dijalani.  Satu hal yang patut disyukuri, setidaknya waktu luang jadi bisa dimanfaatkan dengan baik untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan tertunda beberapa waktu lalu.  1. Migrasi Blog Aksi pulang kampung ke laman BlogSpot tampaknya sudah bisa dilakukan meski dengan banyak catatan minus didalamnya. Namun setidaknya, harapan untuk tidak lagi merepotkan banyak orang, kedepannya bisa dicapai. Sekarang tinggal diUpdate dengan postingan tulisan tentang banyak hal saja.  2. Upload Data Simpeg Melakukan pengiriman berkas pegawai ke sistem online milik BKD rasanya sudah berulang kali dilakukan sejauh ini. Termasuk Simpeg Badung kali ini, yang infonya dilakukan pengulangan pengiriman berkas dengan menyamakan nomenklatur penamaan file. Gak repot sih sebenarnya. Tapi lumayan banyak yang harus dil...

Menantu Mertua dan Calon Mertua

Menonton kembali film lama Meet the Parents (2000) yang dibintangi oleh Ben Stiler dan Robert De Niro, mengingatkan saya betapa terjalnya perjalanan seorang calon menantu untuk mendapatkan kepercayaan sang calon mertua, atas putri kesayangan mereka yang kelak akan diambil menjadi seorang istri dan pendamping hidup. Meski ‘kekejaman’ yang ditunjukkan oleh sang calon mertua dalam film tersebut *sosok bapak* jauh lebih parah dari yang saya alami, namun kelihatannya cepat atau lambat, akan saya lakoni pula nantinya. Memiliki tiga putri yang salah satunya sudah masuk usia remaja, adalah saat-saat dimana kami khususnya saya sudah sewajarnya masuk dalam tahapan belajar menjadi seorang kawan bagi putri sulung saya satu ini. Mengingat ia kini sudah banyak bertanya perihal masa lalu yang saya miliki, baik soal pendidikan atau sekolah, pergaulan dan hobi. Memang sih untuk urusan pacar, ia masih menolak berbicara lebih jauh karena berusaha tak memikirkannya, namun sebagai seorang Bapak,...

Warna Cerah untuk Hidup yang Lebih Indah

Seingat saya dari era remaja kenal baju kaos sampai nganten, isi lemari sekitar 90an persen dipenuhi warna hitam. Apalagi pas jadi Anak Teknik, baju selem sudah jadi keharusan.  Tapi begitu beranjak dewasa -katanya sih masa pra lansia, sudah mulai membuka diri pada warna-warna cerah pada baju atasan, baik model kaos oblong, model berkerah atau kemeja.  Warna paling parah yang dimiliki sejauh ini, antara Peach -mirip pink tapi ada campuran oranye, atau kuning. Warna yang dulu gak bakalan pernah masuk ke lemari baju. Sementara warna merah, lebih banyak digunakan saat mengenal ke-Pandean, nyaruang antara warna parpol atau merahnya Kabupaten Badung.  Selain itu masih ada warna hijau tosca yang belakangan lagi ngetrend, merah marun atau biru navy. Semua warna dicobain, mengingat hidup rasanya terlalu sederhana untuk dipakein baju hitaaaaam melulu.  Harapannya bisa memberikan warna pada hidup yang jauh lebih cerah, secerah senyum istri pas lagi selfie.