Pada akhirnya saya tidak merasa heran, saat menemukan kenyataan bahwa kawan satu ini kemudian bermasalah dengan sang istri, yang notabene seharusnya menjadi pendamping hidup.
Hanya karena persoalan komunikasi.
Saya paham, kami sama sama anak Teknik.
Dimana sebagian besar membentuk karakter yang kaku dan lurus.
Hanya bisa dibilang, saya sedikit lebih beruntung.
Karena dianugerahi gaya yang sedikit dinamis berkat jalan hidup yang tak biasa, dan dianggap mampu untuk mengkomunikasikan isi hati. Baik pada sesama, keluarga, istri, atasan ataupun masyarakat.
Kelihatannya tidak demikian halnya dengan kawan saya satu ini.
Susah memang…
Saya pun kemudian tidak pula merasa heran. Saat menemukan fakta curhatan sejumlah kawan lainnya, yang mengganggap saya pilih kasih pada bawahan, tidak pernah menegur yang bersangkutan secara langsung, bahkan memberi sanksi atas kelalaiannya meninggalkan tugas.
Dilema, ungkap saya pada mereka.
Wong saya ini apa sih ?
Atasan yang bisa memiliki kewenangan memecat juga bukan. Memberi hukuman ? Punishment ? Sejauh apa ?
Saya hanya berusaha memakluminya. Berusaha kompromi pada diri sendiri.
Yang meskipun merasa geregetan, tapi kalo kemudian dijadikan beban, bakalan merusak kesehatan diri sendiri.
Maka itu saya tak lagi mempedulikannya.
Saat saya sudah berupaya menawarkan persahabatan, dan ditolak, maka sayapun akan mengambilnya kembali dan mungkin menawarkannya pada yang lain.
Saya yakin, ada yang masih mau mendengar apa yang diharapkan.
Tapi kalopun semua menolak,
Mungkin ini saatnya saya untuk bersiap pergi dari lingkungan ini.
Comments
Post a Comment