Senja telah beranjak memudar saat kami tiba di pesisir pantai matahari terbit, sabtu sore 18 Mei 2013, satu lagi hari bersejarah bagi kami…
Sesuai rencana, upacara pengabenan almarhum kakak, Pande Made Hartiasih di rumah duka Yang Batu berjalan dengan tenang dan tertib. Sanak saudara berdatangan silih berganti untuk memberikan penghormatan terakhirnya pun demikian dengan rekan-rekan kantornya di PDAM Kota Denpasar dan Kabupaten Badung, tak lupa perwakilan dari alumni Smansa angkatan 89.
Waktu luang yang tercipta pasca upacara Ngajum/Mejauman sembari menunggu prosesi pengabenan, merupakan saat-saat dimana kami seolah kembali ke masa lalu untuk sejenak. Mengisahkan kembali perjalanannya sedari awal, terdeteksi kanker hingga melewatkan hari terakhir di RS Wangaya, tak lupa berbagi wajah dari masa kanak-kanak, remaja hingga dewasa yang memang dengan sengaja aku simpan dan kumpulkan dalam bentuk kepingan cd sejak tahun 2000an lalu.
Proses pembakaran jenasahpun berlangsung dengan cepat, mengingat secara fisik hampir tak ada daging yang melekat pada tulang yang terbalut kulit, kondisi terakhir almarhum lantaran kesulitannya untuk menelan makanan padat. Yang kemudian memberikan waktu menunggu cukup lama, menanti kehadiran sulinggih yang masih menuntun semeton Pande di Pedungan untuk upacara yang sama.
Hampir tak ada air mata lagi yang bisa diteteskan mengingat semua sudah ditumpahkan sejak awal rasa sakit yang diderita kakak mulai menghampiri, hingga hari terakhir kepulangannya. Sungguh, aku baru merasakan kehilangan.
Cepat atau lambat, kami memang dituntut untuk bisa menerima kenyataan, meski terkadang kehadirannya masih terlintas didepan mata, baik dengan wajah sehat saat aku menikah dulu, maupun kurus keringnya kakak pasca kanker lidah yang menggerogoti tubuhnya sedikit demi sedikit. Terutama Ibu dan Bapak yang memang terlihat begitu terpukul dengan keadaan sekarang. Namun setidaknya, kami bisa sedikit berbangga bahwa hingga akhir hidupnya, kami masih berusaha memberikan pelayanan yang terbaik untuknya. Meski pada akhirnya, semua akan kembali menyatu dengan-NYA.
Sebuah perahu jukung bermotor, tampak sudah siap mengantarkan kami ketengah laut untuk melarung tulang dan semua kenangan yang kami pangku, dan ini pengalaman pertamaku untuk ikut mengantarkannya. Sebuah usaha untuk tetap menjaganya hingga akhir perjalanan.
Sirna sudah semua penderitaannya kini…
Dan kami sudah harus kembali kerumah serta meneruskan kisah masing-masing hingga nanti bisa bertemu dan berkumpul kembali bersama-sama.
Comments
Post a Comment