Saat awal aku terdeteksi menderita Diabetes, balkon kantor di Bidang Pengendalian dan Evaluasi Dinas Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Badung, merupakan salah satu tempat nongkrong favorit di pagi hari sesaat setiba di ruangan sebelum mulai bekerja. Tujuan utamanya hanyalah untuk berjemur, menikmati hangatnya matahari pagi yang hingga kini masih dengan gratis dan bebas kita nikmati…
Disinilah banyak ide tulisan lahir dan diselesaikan lantaran tempatnya yang terbuka dan leluasa, dengan pemandangan yang suka bikin kangen setiap harinya. Demikian halnya dengan pagi ini.
Hari ini, hari kelima kami kehilangan kakak, orang yang aku sayangi sejak kecil meski tak pernah diungkap secara lugas padanya. Namun apa yang aku lalui selama ini baik sebelum dan sesudah pernikahan dan berkeluarga, cukup membekas. Lantaran hanya dia, kakak yang mampu aku miliki selama ini secara dekat. Meski kami terpaut 8 tahun, namun kehadirannya selama ini kerap menjadi teman bicara kalo aku sedang dalam masalah.
Hari ini merupakan hari kelima pula, ia terbaring kaku dalam balutan kain kafan diatas tempat tidur ruang jenasah Rumah Sakit Wangaya. Diluar fasilitas pendingin yang kabarnya hanya dapat digunakan dua unit saja. Masih berada disana karena dari pihak keluarga suaminya, baru dapat memutuskan rencana kepulangannya siang ini. Berhubung terbentur kendala beberapa upacara yang telah lama pula dipersiapkan.
Kadang aku masih suka kangen pada kehadirannya yang begitu kunanti setiap akhir pekan. Karena disitulah kami bisa berkumpul bersama anak-anak dan orang tua kami, serta mengajak mereka untuk sekedar menikmati waktu di warung makan yang kami inginkan. Lalu bertukar cerita dan bersenda gurau.
Pemandangan biasa yang selalu aku lihat dan nikmati adalah saat ia marah lantaran sang suami yang memang malas bangun pagi, sehingga kerap beberapa kegiatan yang sudah kami rencanakan berangkat lebih awal jadi molor beberapa jam. Demikian halnya dengan kemanjaan si anak, Prasta, keponakanku yang kadang suka meminta hal-hal aneh secara dadakan. Jika sudah demikian, kakak akan menggerutu meski dalam amarahnya, sebenarnya ia memiliki rasa sayang yang besar pada kedua laki-lakinya tersebut. Setidaknya itu yang aku ketahui saat membaca satu persatu kalimat yang ia buat dalam Surat Wasiat yang kami temukan dalam tas, minggu sore pasca kepergiannya.
Demikian pula untuk bekal bagi kedua orang yang disayanginya itu, sudah dipersiapkan sejak awal dalam bentuk jaminan hari tua, asuransi dan tabungan. Satu hal yang barangkali kemudian melecut perasaanku untuk minimal bisa berbuat hal yang sama kelak.
Balkon ruangan sudah mulai terasa panasnya. Matahari pun mulai beranjak naik, dan aku masih terpekur sendiri ditemani segelas kopi yang sudah mulai dingin.
Pagi ini jelas menjadi sedikit berbeda dari biasanya. Karena kini suasana hati sepertinya sudah tak dapat ditawar lagi. Kutumpahkan saja semua.
MiRah putri pertama kami adalah yang paling ia sukai untuk diajak bercanda. Mungkin lantaran keinginannya untuk bisa memiliki seorang putri, tak jua terkabul. Pun demikian saat kehamilan terakhir yang ia miliki, saat positif mengidap kanker tempo hari, harus rela gugur lantaran janin tak berkembang.
Sama halnya saat kehadiran InTan, putri kedua kami, Di sela rasa sakit yang ia derita, kakak masih menyempatkan diri untuk menggendong keponakannya selama beberapa saat di sabtu atau minggu pagi, bahkan terkadang ia tetap bersikeras ingin mengajaknya dalam waktu yang lama.
Hampir semua urusan rumah tangga rupanya ia handle tanpa peran suami. Aku baru mengetahuinya beberapa hari yang lalu. Tepatnya saat sang suami menangisi kepergian istrinya, dan mulai merasa pesimis dengan hidupnya kelak. Bagaimana cara mendidik dan menjaga sang anak, menyekolahkan hingga minimal bisa membelikannya baju dari hasil keringat sendiiri. Ya, ternyata jangankan untuk si anak, untuk istripun ia mengaku belum pernah membelikan apa-apa sejak pernikahannya dahulu. Yang akhirnya baru aku sadari bahwa ini merupakan satu resiko kealpaan kerja sang suami dalam hidup berumah tangga.
Kalau tidak salah ingat, topik pembicaraan kami yang terakhir adalah terkait keterlibatannya dalam tim Panitia Pengadaan Barang/Jasa di kantornya, PDAM Kota Denpasar. Yang dilakoninya dalam posisi menjabat sebagai salah satu Kasubag disana. Ia bercerita banyak tentang kondisi Pengadaan yang terjadi di PDAM Kota, yang notabene masih diselenggarakan secara konvensional. Ia banyak bertanya tentang LPSE yang selama ini aku ceritakan. Pun dengan pembaharuan beberapa peraturan yang terkait dan kegiatan sosialisasi perubahannya. Saat itu, ia masih dalam kondisi sehat tentu saja.
Namun sejak ia positif dinyatakan menderita Kanker Lidah, hampir tak ada hal serius yang pernah kami diskusikan lagi. Lantaran ia lebih banyak diam dan menahan sakit yang dirasakan, dan aku hanya bisa merasa kasihan melihatnya.
Beberapa bulan sebelum kepergiannya, ia sempat meminta padaku untuk mengcopykan games Magic Lines (yang biasanya dikenal dengan nama Bola Bola dikalangan Pegawai Negeri Sipil) pada perangkat ponsel yang baru ia beli, menggantikan Nexian Berry terdahulu yang telah mulai kadaluwarsa. Sayangnya, ponsel yang ia beli tak dapat melakukan instalasi games yang dimaksud. Maka akupun memberikan perangkat NetBook HP Mini yang sudah lama tak kupakai untuknya. Kebetulan di perangkat tersebut, games Bola Bola masih tertanam dengan baik, lantaran Istri dahulu juga sempat keranjingan memainkannya. Sayang, ia tak mampu menggunakannya lebih lama, lantaran kondisi kesehatannya yang tak lagi memungkinkan.
Yang kini kupikirkan hanya satu. Prasta, putranya.
Aku bisa membayangkan betapa pedihnya ia ditinggal sang Ibu, meskipun mungkin sudah lama ia rasakan demikian. Namun kini, sosok sang ibu sudah tak ada lagi secara fisik didepannya. dan aku hanya bisa terdiam melihatnya tertidur dalam kesendiriannya tanpa adanya sang ibu disisinya. Yang aku tahu, hingga kini ia belum juga mau tidur di rumah bersama sang Bapak. Entah karena takut teringat pada sang Ibu ataukah ada alasan lain.
Esok pagi, kami akan memulai prosesi upacara Pengabenan sesuai rencana. Aku hanya berharap bahwa prosesi dapat berjalan dengan lancar dan sesuai harapan, meski hingga kini aku masih belum rela dengan kelihangan ini. Entah hingga kapan aku bisa menerimanya dengan lapang dada, malahan bisa jadi hingga aku bisa menumpahkan semua uneg unegku di media ini, meski dengan resiko penurunan tingkat kunjungan. Karena hanya di media ini saja yang masih bisa aku miliki untuk bersuara lebih lepas tanpa beban.
Pande Made Hartiasih, 16 Agustus 1970… 12 Mei 2013…
Ia pergi tepat saat hari kelahiranku, Minggu Umanis wuku Merakih. Mungkin itu diambilnya agar lebih mudah mengingatkanku kelak.
Ah, aku akan tetap merindukan masa-masa ini, pun halnya dengan kehadiran kakakku…
Comments
Post a Comment