Skip to main content

Pracasti Pande (Bagian 05 – Raja Bali Berguru)

RAJA BALI BERGURU

Diceritakan Ida Dalem Bali Cri Smara Kapakisan di Gelgel setelah kembalinya dari Madura mengenang kebesaran jiwa Empu Bhumi Cakti dalam menyelesaikan yadnya, terbit dalam hati sanubari hendak berguru pada Empu Bhumi Cakti dalam hal ilmu keTuhanan dan selanjutnya membersihkan diri (mapogala) menjadi raja rsi. Untuk melaksanakan keinginannya ini diutuslah Ki Pasek Babya pergi ke Madura untuk mengundang Empu  Kayu Manis yang bergelar Bhagawan Pandya Empu Bumi Cakti agar datang ke Gelgel.

Pada suatu hari utusan raja tibalah di Madura terus menuju asrama Kayu Manis. Dijumpai Sang Empu sedang mengatur Pancaprakara yaitu bunga, ganda, ksata(wija), dupa dan dhipa (pedamaran) serta pula ciwambha (tempat air suci). Kemudian Sang Empu melaksanakan Surya Sewana. Setelah selesai semuanya dipanggilah semua tamunya yang baru datang dan berkata, “Duh tuan hamba tame dari mana? Apakah kebangsaan dan datang dari mana, ceritakan saja sebenar-benrnya.”

Maka Ki Pasek Babya menjawab, “Ya tuan pendeta, hamba adalah anak Ki Arya Ngango dari Nusa Bali, hamba hendak berguru Sucusra kepada Sang Empu, untuk membersihkan kegelapan dan kebodohan yang memulut di hati hamba.”

Sang Empu berkata kembali, “Wahai  buyutku pangeran Pasek Babya jika memang demikian berarti ada hubungan keluarga dengan saya. Dengan adanya Empu Ketek bersaudara. Dengan kawitan saya Empu Gandring yang dulu ditikam Ken Arok. Patutlah engkau melakukan dharma kependetaan untuk mengasuh jiwa sucimu.”

Jawab Ki Pasek, “Ya tuan pendeta sesuwunan, sesungguhnya kedatangan hamba kemari ada dua kepentingan. Disamping kepentingan pribadi, hamba diutus raja Bali Dalem Gelgel untuk datang ke Bali karena baginda hendak berguru kepada Sang Maha Empu.”

“Hai buyutku pangeran Pasek untuk kepentingan Dalem nanti kalau ada hari baik saya akan datang ke Bali, sekarang pulanglah dahulu.”

Setelah beberapa hari Ki Pasek Babya mohon diri pulang ke Bali, setelah dibisiki ajaran filsafat keTuhanan dan yoga samadhi sebagai persiapan untuk menjadi pendeta (didiksan) kelak.

Beberapa pekan kemudian pada suatu hari yang dianggap baik maka berangkatlah Sang Empu ke Bali. Tiada diceritakan betapa halnya dalam perjalanan, telah sampai di Gunung Agung. Setibanya disana Empu Bhumi Cakti sangat heran melihat suatu cahaya yang gemerlapan diatas padmasana manik. Ketika itu Empu Bhumi Cakti menyembah dengan sujud, mata menghadap ke tanah, suatu tanda sangat hormat dan bakti kepada Bhatara.

Cahaya gemerlap itu bersabda “Hai, engkau Empu  yang rupawan, apa tujuanmu datang kemari? Ceritakanlah kepadaku.”

Sang Empu menjawab dengan didahului pujapangaksama, “Om Skama Swa Mam Mahadewah, Sarwa Prapi Hitangkarah, Mamocha Sarwa Pabsbhyo, palaya Swaa Sada Chiwah” Ya Bhatara, dewanya Gunung Agung, Hamba Brahmana Bhatara datang kemari karena diundang oleh raja Bali, diminta mensucikan (andiksa) dirinya menjadi Raja Rsi di Gelgel.”

‘Engkau Empu Madura” sabda Bhatara, “jika engkau tahu dengan keadaan riwayat tangan kananku, boleh engkau mensucikan cri Aji Bali. Coba lihat telapak tangan kananku.”

Sang Empu melihat tapak tangan Bhatara lalu berkata, “Pakulun paduka Bhatara, ijinkanlah paduka Bhatara menyebutkannya, yaitu Panca Brahma yang ada dalam tapak tangan Bhatara.”

“Dimana patut dipukulkan, sabda Bhatara dibahu atau didadamu?” Sang Empu tidak menjawab suatu apa. Tiba-tiba Bhatara musnah sekejap mata. Sang Empu berkata dalam hatinya, wah sangat fanatik (cinging) Bhatara Tohlangkir. Seketika itu Empu Bhumi Cakti mohon diri terus berjalan menuju Gelgel.

Setibanya di istana Gelgel didapati Dalem sedang duduk diatas singgasana. Demi meihat Sang Empu datang, Dalem segera turun singgasana dan mengelu-elukan Sang Empu. Sang Empu segera mengucapkan Wedastuti, kemudian dipersilahkan duduk sejajar dengan Dalem.

Sang Empu sangat heran mellhat wajah muka Sri Aji, karena sedikitpun tidak ada bedanya dengan Bhatara Mahadewa, baik wajah durja maupun perawakannya, demikian pemikiran Sang Empu.

Setelah sama duduk ditempatnya masing-masing. raja bersabda,  “Om Sang Empu, menurut perasaan hati hamba, Sang Empu seakan-akan Bhagawan Anggira turun dari sorga laksana Bhatara Indra dalam Catur Lokapala. Tidak pernah ada dosa yang melekat pada badan Sang Empu.” Demikianlah sabda Dalem.

Maka Empu Bhumi Cakti menjawab,  “Daulat tuanku, janganlah Sri Maharaja berlebihan memuji hamba. Yang penting saat ini, ijinkanlah hamba bertanya, apa sebab Sri Maharaja mengundang hamba seorang  Brahmana?  Hamba ingin mendapat penjelasan dari tuanku.”

“Ya Maha Empu” jawab Dalem, “Anak Maha Empu ingin menjadi orang tua, meniru dharmanya Bhatara almarhum kawitan anak Maha Empu Dang Hyang Kapakisan.”

“Ya tuanku Sri Maharaja” sahut Sang Empu, ” maksud tuanku itu dapat hamba setujui, sebab Sri Maharaja memang juga Brahma putera turunan Brahmana Kapakisan menjadi raja, satu Kawitan dengan hamba. Sesungguhnya bagi kami Brahmana tidak boleh menerima murid ksatria, berdasarkan riwayat  Hitihasa Purana, Asta Dasa Carita.” Jika tuanku berkenan dapat hamba ceritakan demikian.

Adalah seorang raja Hastina bernama Maharaja Dewabrata berguru weda ilmu senjata kepada Bhagawan Rama Paracu seorang pendeta brahmana. Setelah ahli dalam weda ilmu senjata maka Sang Raja Dewabrata pulang ke Istana Hastina.

Beberapa bulan kemudian sepulang Sang Raja Dewabrata dari asrama Rama Paracu, tiba-tiba adalah seorang gadis raja puteri yang sangat cantik parasnya bernama Dyah Amba menghadap seorang diri kepada Bhagawan Rama Paracu diasramanya, bermaksud mohon bantuan nasehat agar raja Dewabrata mau memperisteri dirinya. Diterangkannya ia mulanya tiga bersaudara perempuan diambil oleh Sang Dewabrata dalam sayembara. Dua orang adiknya telah diperisteri oleh Sang Citranggada dan Citrawirya adik Sang Raja Dewabrata. Hanya ia saja tidak mau diperisteri oleh  Sang Raja Dewabrata.

Beberapa lama Dyah Amba ada diasrama, maka datanglah raja Dewabrata yang bergelar Rsi Bhisma menghadap gurunya, maka Bhagawan Rama Paracu berkata, “Anakku Bhagawan Bhisma ambillah Dyah Amba ini menjadi isteri anakku, bapa dapat mengijinkannya. Sebab bagi kita layak membuat duka cita seorang kawan hidup, baik ia keluarga maupun sahabat.

Tiga macam jalan musuh dari dalam badan hendak menunjukkan perbuatannya dan hendak menghancurkan segala jasa-jasa baik kita didunia. Yang terutama diantaranya ialah keluar melalui mulut, yaitu  berkata tidak benar, memfitnah, ingkar janji, tidak setia dengan segala kata-kata dan berkata keras. Musuh yang melalui tenaga, suka memukul, menyakiti dan membunuh. Yang melalui pikiran, biasa membuat kehendak yang jahat, tidak berperikemanusiaan. Semua itu merupakan musuh kita dalam  badan. Sebab itulah ambilah Dyah Amba.” Demikianlah kata Bhagawan Rama Paracu dan Rsi Bhisma segera menjawab.

“Maaf Guru, bukan karena hambi menentang kata atau durhaka kepada Guru, hanya karma hamba telah berjanji dengan ikrar kepada Tuhan, bahwahamba akan melakukan Cuklabrahmancari. Hamba tidak berani mangkir janji kepada Tuhan. Sebab ltu hamba tidak mau memperisteri Dyah Amba, sekalipun bagaimana akibatnya.”

Sampai empat, lima kali Guru Rama Paracu menyuruh mengambil Dyah Amba, tetapi Rsi Bhisma tetap menolaknya. Akhirnya murka Bhagawan Rama Paracu menuding mata Rsi Bhisma seraya berkata keras dan kasar.

Sebagai seorang Ksatria yang tidak boleh dikerasi, maka bangkitlah marahnya berapi-api terus memukul gurunya. Dengan demikian berkelahilah dua orang Rsi masing-masing mengeluarkan kekuatannya. Akhirnya kalah Bhagawan Rama Paracu mengadu tenaga karena telah lanjut usianya. Saat itu Bhagawan Rama paracu mengutuk Rsi Bisma, katanya “Hai kamu Bhisma, mulai saat ini selanjutnya kami Brahmana tidak boleh mempunyai murid golongan ksatria. Kemudian hari apabila ada seorang brahmna terutama turunan Bhrgumendiksa golongan ksatria, semoga tidak sempurna dan mendapat halangan besar.”

Demikianlah ceritera Bhagawan Pandya Empu Bhumi Cakti kepada Dalem, sebagai dalih sangat takutnya kepada Bhatara Mahadewa.

Setelah beberapa lama Empu Kayu Manis di Bali menvelesaikan minatnya Dalem Gelgel, maka kembalilah ia keasrama Madura.

Comments

Postingan Lain

Jodoh di Urutan ke-3 Tanda Pesawat IG

Kata Orangtua Jaman Now, Jodoh kita itu adanya di urutan ke-3 tanda pesawat akun IG.  Masalahnya adalah, yang berada di urutan ke-3 itu bapak-bapak ganteng brewokan berambut gondrong.  Lalu saya harus gimana ?  #jodohurutanketigadipesawat  Mestinya kan di urutan SATU ?

Mewujudkan Agenda Cuti Bersama Lebaran

Tampaknya di Hari terakhir Cuti Bersama Lebaran, sebagian besar rencana yang ingin dilakukan sejak awal liburan sudah bisa terwujud, meski masih ada beberapa agenda lainnya yang belum bisa dijalani.  Satu hal yang patut disyukuri, setidaknya waktu luang jadi bisa dimanfaatkan dengan baik untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan tertunda beberapa waktu lalu.  1. Migrasi Blog Aksi pulang kampung ke laman BlogSpot tampaknya sudah bisa dilakukan meski dengan banyak catatan minus didalamnya. Namun setidaknya, harapan untuk tidak lagi merepotkan banyak orang, kedepannya bisa dicapai. Sekarang tinggal diUpdate dengan postingan tulisan tentang banyak hal saja.  2. Upload Data Simpeg Melakukan pengiriman berkas pegawai ke sistem online milik BKD rasanya sudah berulang kali dilakukan sejauh ini. Termasuk Simpeg Badung kali ini, yang infonya dilakukan pengulangan pengiriman berkas dengan menyamakan nomenklatur penamaan file. Gak repot sih sebenarnya. Tapi lumayan banyak yang harus dilengkapi lagi. 

Warna Cerah untuk Hidup yang Lebih Indah

Seingat saya dari era remaja kenal baju kaos sampai nganten, isi lemari sekitar 90an persen dipenuhi warna hitam. Apalagi pas jadi Anak Teknik, baju selem sudah jadi keharusan.  Tapi begitu beranjak dewasa -katanya sih masa pra lansia, sudah mulai membuka diri pada warna-warna cerah pada baju atasan, baik model kaos oblong, model berkerah atau kemeja.  Warna paling parah yang dimiliki sejauh ini, antara Peach -mirip pink tapi ada campuran oranye, atau kuning. Warna yang dulu gak bakalan pernah masuk ke lemari baju. Sementara warna merah, lebih banyak digunakan saat mengenal ke-Pandean, nyaruang antara warna parpol atau merahnya Kabupaten Badung.  Selain itu masih ada warna hijau tosca yang belakangan lagi ngetrend, merah marun atau biru navy. Semua warna dicobain, mengingat hidup rasanya terlalu sederhana untuk dipakein baju hitaaaaam melulu.  Harapannya bisa memberikan warna pada hidup yang jauh lebih cerah, secerah senyum istri pas lagi selfie. 

Semua Berakhir di 5 Besar Teruna Teruni Denpasar 2024

Bermula dari coba-coba lalu masuk menjadi 5 Besar Finalis Teruna Teruni Denpasar Tahun 2024, putri kami Pande Putu Mirah Gayatridewi ternyata masih berusia 15 Tahun saat Grand Final dilaksanakan di Gedung Dharma Negara Alaya Lumintang Kota Denpasar, hari Minggu 18 Februari 2024 kemarin. Berhasil menyisihkan puluhan peserta dengan tingkat prestasi berskala Kab/Kota, Provinsi dan Nasional, ia mendapatkan undangan dari Panitia TTD untuk mengikuti perhelatan bergengsi ini, pasca meraih Juara Pertama Teruna Bagus Teruni Jegeg Sisma -SMAN 7 Denpasar Tahun 2023 lalu. Sehingga batas bawah Umur Peserta yang seharusnya 16 Tahun, infonya ditoleransi mengingat usianya sudah jalan menuju angka 16 sebulan kedepan.  Meski hanya sampai di peringkat 5 Besar, kami semua turut bangga mengingat ini adalah kali pertama putri kami mengikuti ajang tingkat Kab/Kota, menjadikannya sebagai Finalis Termuda diantara peserta lainnya. Bahkan kami dengar, merupakan siswa pertama di sekolahnya yang lolos hingga jenja

62 Tahun Bang Iwan Fals

Pekan ini Bang Iwan Fals kalau gak salah genap berusia 62 tahun. Umur yang gak muda lagi meski masih sering melahirkan karya-karya baru bareng anak-anak muda milenial.  Saya mengenal lagu-lagu Bang Iwan tepatnya di era Album Wakil Rakyat. Sebuah karya jelang Pemilu 1988 yang mengetengahkan lagu soal para legislatip yang biasa bersafari, dengan keragaman perilaku mereka di jaman itu.  Lirik lagunya tergolong sederhana, dan aransemennya juga mudah diingat. Gak heran di jaman itu pula, saya kerap membawakan lagu Wakil Rakyat sebagai lagu kebanggaan pas didaulat nyanyi didepan kelas, didepan 40an anak kelas 4 atau 5 kalau gak salah.  Dan ada juga beberapa karya sang musisi, yang dibawakan sesekali macam Kereta Tua atau Sore Tugu Pancoran yang bercerita soal si Budi kecil.  Terakhir menyukai karya Bang Iwan kalau ndak salah di album Suara Hati (2002). Yang ada track Untuk Para Pengabdi dan Seperti Matahari. Dua lagu favorit saya di album itu. Setelahnya hanya sebatas suka mendengar sebagian