Dua hari terakhir tampaknya Ida ingin menunjukkan sesuatu pada hamba-Nya, pengalaman yang berguna, tentang wanita yang aku pilih sebagai pendamping hidup, selamanya.
Bahwa usia dan cerita, adalah kehendak-Nya. Tak bisa kita pinta, Tak bisa kita paksakan. Semua akan kembali kepada-Nya. Kita hanya bisa berusaha saja.
Seorang kawan lama, teman kuliah, meninggal dunia dalam usia yang masih sangat muda, setidaknya di mata kami, rekan sebayanya. Ia meninggalkan dua orang anak dengan usia yang masih belia, sangat belia. Aku hanya bisa terhenyak, betapa nasib begitu cepat merenggut kesehatannya. Aku yakin, suaminya begitu terpukul atas kehilangan ini.
Di lain hal, salah satu staf mengalami keretakan rumah tangga. Sang suami melabrak gadis yang yang dahulu ia pinang dan kini berubah status menjadi seorang istri, hanya karena emosi dan praduga sepihak. Ia menganggap gadis yang telah memberikan ia dua anak, kini tak lagi setia. Memergoki yang bersangkutan bersama seorang lelaki yang jauh lebih muda, dan menuduhnya berselingkuh. Amarah memuncak, mereka bersitegang dihadapan kami sore itu. Sementara informasinya, perubahan perilaku suami bisa terjadi begitu drastis, lantaran sang anak menemukan chat mesra sang suami dengan wanita lain. Pantas saja ia tak pernah memberi ijin ponsel dipinjam sang anak selama ini. Ponsel pengecut kalau kata netijen jaman now.
Hari ini, aku malah ingin menuliskannya sebagai sebuah catatan pada diri. Mengingatkan bahwa mumpung masih bisa, atau mumpung cinta itu masih ada, untuk menyayangi dan membina hubungan dengan wanita yang dulu pernah dikagumi, agar kelak ketika Ida menginginkannya untuk kembali ke pangkuan ibu pertiwi, aku tak pernah menyesalinya lagi.
Untuk Ni Made Dahliana Wulansari, ST, Amor ring Acintya, semoga tenang disana, bersatu dengan-Nya. Sementara keluarga yang ditinggalkan, agar bisa lebih tabah menjalani.
Untuk rekan kerja saya… entahlah.
Comments
Post a Comment