Skip to main content

Golput adalah sebuah Pilihan ? atau Ketidakpedulian ?

Pesta Demokrasi, Pemilu 17 April 2019 sudah tinggal menghitung jam saja. dan sepertinya, sebagian besar generasi milenial bakalan memilih untuk Golput, Golongan Putih alias tidak memilih, atau tidak menggunakan hak suaranya.

Ada banyak pemicu kali ini.
Anggapan ketidakbecusan pemerintah Jokowi-JK dalam menangani beragam kasus kemanusiaan, termasuk soal teguran suara adzan yang berakhir penjara, belum dibatalkannya perpres Reklamasi Benoa, hingga dirilisnya Sexy Killers karya mas Dhandy Laksono, membuat banyak calon pemilih merasa tak lagi punya pilihan lagi, lantaran sang lawan politik pun tampak sama saja peluangnya.
dan Golput nyaris serempak menjadi pilihan.

Sah-sah saja sebenarnya kalau mau Golput. Karena katanya Golput adalah sebuah pilihan, dan dianggap sah pula secara peraturan. Bahkan saya pun di masa lalu sempat mengambil keputusan begini, saat merasa putus asa dengan kualitas calon pemimpin yang ada.
Tapi makin kesini, kelihatannya saya makin menyadari, bahwa sebetulnya Golput itu bukanlah satu Pilihan. Melainkan, sebuah Ketidakpedulian.
Kenapa bisa begitu ?

Mengelola Negara, sebenarnya mirip banged dengan mengelola sebuah keluarga. Hanya saja, soal skala jadi jauh lebih kecil. dan permasalahan pula tantangannya pun jauh lebih sederhana.

Ketika kedua orang tua, ayah dan ibu menghadapi satu masalah yang kelak akan berpengaruh pada pola hidup secara bersama-sama di masa yang akan datang, dan kita sebagai anak dimintakan pendapat atau malah memilih salah satu dari dua pilihan pendapat yang ada, apakah ketika tidak menyukai kedua opsi tersebut lalu kita balik kanan dan mengatakan tidak mau ikut campur, sementara kita semua adalah satu keluarga ?
Mungkin saja kita akan berdalih, bukankah ada opsi musyawarah mufakat ? Atau tidak menjalankan kedua opsi tersebut ?
Bisa jadi malah sebaliknya.
Jika salah satu opsi tidak diambil, maka keluarga berpotensi bubar. Masih tetap untuk tidak mau ikut mengambil keputusan ?

dan ketika kita bersikeras untuk tidak ikut memberikan keputusan, salah satu pilihan sudah pasti akan berjalan, dan itu dapat dipastikan pula akan berakibat pada keseharian keluarga, mau tidak mau, suka tidak suka. Kecuali kita memutuskan untuk keluar dari keluarga tersebut, dan memilih untuk tinggal dengan keluarga lainnya.

Tapi balik ke masing-masing sih ya.
Mereka yang belum pernah menghadapi permasalahan pelik dalam sebuah keluarga, atau berstatus lajang, mungkin saja belum menyadari sejauh itu. Bahwa dengan Golput, memilih untuk tidak memilih, sebenarnya salah satu dari pilihan yang ada akan tetap dijalankan, dan tentu saja mau tidak mau PASTI berimbas pada jalan hidup dan kisah kita masing-masing di tanah air, mengingat kita semua adalah satu keluarga.
Bahwa kemudian arah perjalanan bakalan lebih baik atau memburuk, ya itulah resiko yang dihadapi kedepannya.

Saya Pribadi akhirnya memutuskan untuk tidak ikut-ikutan Golput, meskipun hanya memiliki peluang 1 suara saja. Dari sekian juta suara yang nantinya memiliki banyak pengaruh pada piligan yang ada.
Karena menyadari, bahwa Bangsa Indonesia membutuhkan pemimpin yang terBaik dari pilihan yang ada, meski tidak bisa menyenangkan semua pihak yang ada didalamnya.

Bagaimana dengan kamu ?

Comments

Postingan Lain

Jodoh di Urutan ke-3 Tanda Pesawat IG

Kata Orangtua Jaman Now, Jodoh kita itu adanya di urutan ke-3 tanda pesawat akun IG.  Masalahnya adalah, yang berada di urutan ke-3 itu bapak-bapak ganteng brewokan berambut gondrong.  Lalu saya harus gimana ?  #jodohurutanketigadipesawat  Mestinya kan di urutan SATU ?

Pengetahuan kecil tentang soroh PANDE

Sekali-sekali saya selaku penulis seluruh isi blog ini pengen juga ber-Narzis-ria, satu hal yang jarang saya lakukan belakangan ini, sejak dikritik oleh seorang rekan kantor yang kini jadi malas berkunjung lantaran Narzis tadi itu.  Tentu saja postingan ini bakalan berlanjut ke posting berikutnya yang isinya jauh lebih Narzis. Mohon untuk dimaklumi. *** PANDE merupakan salah satu dari empat soroh yang terangkum dalam Catur Lawa (empat daun teratai) Pasek, Pande, Penyarikan dan Dukuh- yang memiliki keahlian dalam urusan Teknologi dan Persenjataan. Ini bisa dilihat eksistensi pura masing-masing di Besakih, yang memiliki tugas dan fungsi yang berbeda-beda dalam berbagai kegiatan Ritual dan Spiritual. Dimana Pura Pasek menyediakan dan menata berbagai keperluan upakara, Pura Pande menata segala peralatannya. Pura Penyarikan menata segala kebutuhan tata usaha administrasi agar segala sesuatu berjalan dengan teratur. Sedangkan Pura Dukuh Sakti sebagai penata berbagai keperluan sandang pan...

Mewujudkan Agenda Cuti Bersama Lebaran

Tampaknya di Hari terakhir Cuti Bersama Lebaran, sebagian besar rencana yang ingin dilakukan sejak awal liburan sudah bisa terwujud, meski masih ada beberapa agenda lainnya yang belum bisa dijalani.  Satu hal yang patut disyukuri, setidaknya waktu luang jadi bisa dimanfaatkan dengan baik untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan tertunda beberapa waktu lalu.  1. Migrasi Blog Aksi pulang kampung ke laman BlogSpot tampaknya sudah bisa dilakukan meski dengan banyak catatan minus didalamnya. Namun setidaknya, harapan untuk tidak lagi merepotkan banyak orang, kedepannya bisa dicapai. Sekarang tinggal diUpdate dengan postingan tulisan tentang banyak hal saja.  2. Upload Data Simpeg Melakukan pengiriman berkas pegawai ke sistem online milik BKD rasanya sudah berulang kali dilakukan sejauh ini. Termasuk Simpeg Badung kali ini, yang infonya dilakukan pengulangan pengiriman berkas dengan menyamakan nomenklatur penamaan file. Gak repot sih sebenarnya. Tapi lumayan banyak yang harus dil...

Menantu Mertua dan Calon Mertua

Menonton kembali film lama Meet the Parents (2000) yang dibintangi oleh Ben Stiler dan Robert De Niro, mengingatkan saya betapa terjalnya perjalanan seorang calon menantu untuk mendapatkan kepercayaan sang calon mertua, atas putri kesayangan mereka yang kelak akan diambil menjadi seorang istri dan pendamping hidup. Meski ‘kekejaman’ yang ditunjukkan oleh sang calon mertua dalam film tersebut *sosok bapak* jauh lebih parah dari yang saya alami, namun kelihatannya cepat atau lambat, akan saya lakoni pula nantinya. Memiliki tiga putri yang salah satunya sudah masuk usia remaja, adalah saat-saat dimana kami khususnya saya sudah sewajarnya masuk dalam tahapan belajar menjadi seorang kawan bagi putri sulung saya satu ini. Mengingat ia kini sudah banyak bertanya perihal masa lalu yang saya miliki, baik soal pendidikan atau sekolah, pergaulan dan hobi. Memang sih untuk urusan pacar, ia masih menolak berbicara lebih jauh karena berusaha tak memikirkannya, namun sebagai seorang Bapak,...

PimPro, Apaan sih Itu ?

PimPro Kalian yang sudah masuk dunia kerja, utamanya yang bergerak di bidang konstruksi, saya yakin pasti pernah dengar istilah Pimpro. Baik yang berkonotasi Negatif ataupun Positif. Demikian halnya saya. Pertama kali mendengar istilah PimPro kalo ndak salah ya pas baru-baru jadi Pe eN eS. Yang saat diceritakan oleh pimpinan saat itu, apa tugas, kewenangan dan kekuasaan yang dimiliki oleh seorang Pimpro, Bagi saya pribadi sih lebih banyak Negatifnya. Ini jika dilihat dari kaca mata kebenaran. Bukan pembenaran. Image besarnya Power seorang Pimpro makin dikuatkan saat saya mengobrol ngalor ngidul bersama seorang pejabat fungsional di tingkat Provinsi saat berkesempatan menginap sekamar *bukan seranjang ya* sewaktu ditugaskan ke Indonesia Timur berkaitan dengan pemanfaatan dana ABPN dua tahun lalu. Dari ceritanya, ya memang benar bahwa seorang PimPro apalagi di era Pak Harto menjabat dulu sebagai Presiden RI ke-2, punya kekuatan besar yang begitu memanjakan hidup dan keseharian yang bersa...