Dadaku selalu berdegup kencang tatkala mendengarkan suara telepon berdering baik rumah maupun ponsel. Bilapun terdengar diseberang sana suara perawat dari Puri Bunda, hati ini selalu pilu dan berharap ada kabar baik yang bisa kudengar. Dan kepalaku pun mulai merasa sakit, perih lantaran Gek Ara, putri kami masih harus menjalani perawatan yang begitu menyakitkan.
Aku dituntut selalu dan harus mampu untuk tabah. Apalagi kini aku sudah menjadi seorang Ayah. Bapak dari tiga putri yang seyogyanya bisa menjaga perasaan mereka semua agar tak ikut larut dalam kesedihan. Tapi ketabahan itu aku yakin pasti ada batasnya.
Jikapun kemudian dipikirkan, bahwa memang benar apa yang dikatakan orangtua, energi bisa habis saat kita larut dalam tangis dan kesedihan. Sementara diluar itu aku masih punya tanggung jawab akan dua putri, kakak kakaknya Ara yang pula membutuhkan perhatian besar. Berada pada dua sisi yang bertentangan rupanya.
Jadi bisa ditebak…
Tidurpun aku tak pernah nyenyak. Mata ingin sekali tak dipejamkan, agar semua perkembangan dapat kurasakan detik demi detiknya. Namun yang namanya manusia tetaplah membutuhkan istirahat.
Kini aku sedang belajar Pasrah. Manusia sudah berupaya semaksimal mungkin, maka sisanya yang tak mampu dilakukan harus pula diserahkan pada-NYA. Sulit memang, karena bagaimanapun juga manusia menginginkan hal terbaik baginya dan bisa didapatkan dalam waktu yang cepat. Manusia tidak tahan untuk menderita, atau dalam kasus ini tidak tahan melihat anaknya menderita.
Untuk putri kami, Gek Ara yang kini harus disuntik pada pembuluh darah besarnya, kami akui terlalu lemah untuk bisa melihatmu menjalani semua perawatan ini. Kasihan pada tubuh kecilmu dan rasa sakit yang kau derita demi sebuah keinginan untuk berkumpul bersama keluarga. Namun kami selaku orangtua, sudah bertekad untuk total memberikan yang Terbaik padamu. Jadi berjuanglah yang Terbaik untukmu Cantik, karena kami selalu ada untuk Mencintaimu.
22 Februari 9.18 pagi
Comments
Post a Comment