Walaupun saya bisa dikatakan sangat terlambat mengetahui berita terkini (bisa membaca kronologisnya disini) perihal eksekusi mati Amrozy cs, trio bomber Bali Oktober 2002 lalu, namun jujur saja ada perasaan lega yang terbersit dihati kecil saya. Kenapa ? Karena mulai hari ini, takkan ada lagi kata-kata provokasi yang dikeluarkan oleh wajah-wajah penuh senyum tanpa dosa tersebut.
Sebelum eksekusi, Amrozy sempat memberikan Surat Wasiat atau pesan terakhir yang kurang lebih mengatakan bahwa umat Muslim di Indonesia harus kembali ke ajaran Islam yang sepenuhnya dan tidak mengikuti Demokrasi (Jawapos 8 November 2008, halaman 1). Hal ini rupanya langsung mendapatkan tanggapan dari berbagai pihak, diantaranya ulama dan habib yang berkumpul di Jakarta plus komentar dari Ketua MUI Bali (kalo ndak salah sempat ditayangkan di televisi kemarin), bahwa Bom Bali bukan merupakan Djihad, dan itu Haram hukumnya. Nah lo.
Perpecahan dalam satu pemahaman agama, memang kerap terjadi. Ada yang memiliki pemahaman di jalur kiri, ada juga yang disisi lainnya. Entah bagaimana jadinya jika kedua kelompok ini bertemu dalam satu wadah. Mungkin bakalan serame Debat di televisi lokal TVOne, yang menampilkan debat tentang ‘Djihad atau Terorisme’ tempo hari.
Saat ini pasca eksekusi mati ketiga bomber tersebut, ada beberapa kekhawatiran saya secara pribadi, meliputi perpecahan bangsa akibat lahirnya Amrory baru, Imam Samudra baru dan juga Mukhlas baru, yang telah didoktrin jauh sebelumnya telah siap untuk melakukan hal serupa diberbagai daerah negeri ini. Khawatir akan ada perpecahan antar umat beragama yang dahulunya rukun berdampingan, harus saling curiga satu dengan lainnya. Khawatir akan penghancuran tempat-tempat ibadah bagi mereka yang termasuk kaum minoritas di negeri ini, sebagai pelampiasan umat yang tak puas dengan dilakukannya eksekusi mati.
Kekhawatiran ini diperparah lagi dengan reaksi keluarga dari ketiga bomber, hingga telah mempersiapkan hal-hal yang bagi saya pribadi terlalu ‘overacting‘ dan berlebihan. Memang sih, rasa duka itu pasti ada saat kehilangan keluarga, tapi apakah mereka sudah tak memiliki perasaan yang sama dialami oleh para korban bom Bali I tempo hari, terutama yang bukan warga asing ? apakah itu semua pantas disebutkan sebagai ‘Takdir’ sebagaimana yang dikatakan oleh Amrozy cs tempo hari ?
Terlepas dari kontroversi yang menyelimuti eksekusi mati yang dilakukan tadi malam pukul 00 WIB, kecurigaan adanya tekanan dari luar negeri, bagi saya pribadi sudah sepatutnya Pemerintah melakukannya, bahkan jauh-jauh hari sebelumnya. Hanya karena beralasan ini itu, masyarakat dan mata internasional jadi menduga adanya keragu-raguan atau ketidakseriusan Pemerintah melakukan eksekusi ini. Sangat fatal akibatnya jika Pemerintah tak tanggap. Saya saja sempat emoh menonton televisi akibat ditunda dan ditundanya jadwal eksekusi. Bagaimana dengan orang lain ?
Banyak hal yang saya yakin bakalan terjadi pasca eksekusi, satu diantaranya ya tindak tanduk orang-orang yang berada dibalik TPM Tim Pembela Muslim. Sudah saatnya mereka menyadari (itu jika mereka merupakan kumpulan orang waras) bahwa TPM bukanlah nama yang tepat bagi sebuah tim yang membela ketiga bomber Bali I. Karena ternyata yang setuju pada eksekusi hanyalah segelintir umat Muslim yang mengaku-aku memahami ajarannya jauh lebih baik daripada sebagian besar lainnya. Apakah masih layak menyandang nama tersebut ?
Comments
Post a Comment