Skip to main content

Mencari Pedharman dan Kawitan

MENCARI PEDHARMAN DAN KAWITAN

Antara ketemu dan belum ketemu 

Oleh : Bli I Wayan Kaler 

Sumber : FB akun Bli I Wayan Kaler

Sugra Pekulun

Dumogi ten keni Upadrawa Raja Pinulah 


Ada yang unik saat Sembahyang ke Pura Besakih, baik saat Odalan maupun saat Tirtha Yatra bersama Rombongan. Yang unik adalah tradisi yang sudah berjalan ratusan tahun yaitu Sembahyang ke Pura Pedharman sebelum ke Pura Penataran Agung Besakih atau ke Pura yang lain. 

Jaman dulu, yang tidak tahu Pura Pedarman nya akan menunggu Teman - teman yang lain yang sedang sembahyang di Pura Pedharman nya masing masing, setelah itu barulah bersama sama sembahyang ke Pura Penataran Agung Besakih atau ke Pura yang lain. Jaman Sekarang, bagi yang tidak tahu Pedarman nya, mungkin akan langsung mengambil Smartphone bertanya ke Keluarga, “ Hallo Ajik / Biang / Meme / Bapa dija nika Pura Pedarmane ? , Pura Pedarman napi wastane ?, mungkin itu kata kata nya.

Yang sering menjadi pertanyaan, apakah Semua Orang Hindu Bali punya Pura Pedarman, baik di Desa Besakih maupun di Luar Desa Besakih ? 

Jawabannya menurut saya adalah Ya dan Tidak atau Belum ketemu dan tentu memerlukan waktu berjam jam kalau didiskusikan


SEJARAH PURA PEDHARMAN 

Sangat sulit mencari sumber bacaan yang sahih tentang Sejarah Pura Pedharman. Tetapi kita akan coba menelisik dari awal. Yang Pertama yaitu Apa itu Pura Pedarman. Mungkin bisa dijabarkan :

Pura = Tempat Suci Hindu Bali. 

Pedharman = Dharma.

Dalam Kamus Bali Kuno, ada beberapa arti kata Dharma yang berarti Bangunan Suci, seperti : Dharma Hanar, Dharmakuta, Dharmarupa, Dharmaryya, Yang berarti Tempat Bhatara dipuja, Pertapaan, Pesanggrahan dan Tempat tinggal Pendeta. Kalau kita imbuhkan Awalan dan Akhiran, Dharma = Pedharman, Didharmakan = Dilinggihkan atau lebih mirip dengan Penyawangan. Jadi Roh Leluhur yang telah Suci dilinggihkan dan dipuja di Bangunan Suci ( Pura ).

Tidak satupun Prasasti Bali Kuno menyebut Pura Pedarman, dari yang paling Tua ( Prasasti Sukawana AI Tahun Saka 804 ) sampai yang paling Muda ( Prasasti Pejeng C Tahun Saka 1264 ). Saat itu Bangunan Suci belum disebut Pura, tetapi disebut dengan berbagai sebutan seperti : Ulan, Hyang Api, Partapanan, Satra, Tirtha, Sanghyang Katyagan, Meru, Stapaka, Kahyangan Walyan dan mungkin ada sebutan yang lain. 

Walaupun Pedharman tidak disebut, tetapi ada sebutan yang mengarah pada Tempat Suci mirip Pedharman atau Candi kalau diterjemahkan. Kata yang dimaksud adalah “ Lumah “. Dalam Kamus Bahasa Bali Kuno, Lumah berarti Mangkat / Meninggal / Dicandikan. Dicandikan disini juga tidak dijelaskan, apakah dikubur apakah hanya Roh Suci nya yang dilinggihkan dan dipuja. Banyak Prasasti Bali Kuno menyebut kata Lumah, seperti : 


“ Sang Lumah di Air Madatu “ 

Sang Lumah di Air Madatu atau Raja yang dicandikan di Air Madatu tertulis dalam Prasasti Kintamani A Lempeng I.a. Berangka tahun Saka 889, yang mana kutipannya sebagai berikut :

“ …… tatkālan ƧrÄ« haji (ta)ganendra dharmadewa, sang ratu luhur ƧrÄ« subhadrika dharmmadewi, mulihakat masamahin tua sātra di air mih mÅ«la ānugraha sang ratu sang siddha dewatā sang lumah di ai(r) madhatu ……… “.

Terjemahan :

“ …….., itulah saatnya Paduka Sri Maharaja Taganendra Dharmadewa beserta permaisurinya Sri į¹ ubhadrika Dharmadewi, memanggil dan mengumpulkan para sesepuh di pesanggrahan yang berada di Air Mih yang dahulu dihadiahkan oleh paduka raja yang telah wafat dan telah didharmakan di Air Madatu, …….. “.

Disini disebut Paduka Raja yang telah wafat tetapii tidak disebutkan dikubur dimana, tetapi didharmakan di Air Madatu. 

Bangunan Suci atau Candi ini, menurut Dr. R. Goris adalah Tempat Percandian Sang Ratu Sri Ugrasena. Apakah Beliau adalah Ayah Sang Ratu Sri Haji Taganendra Dharmadewa ? dan dimanakah Air Madatu ?. Tentu perlu penelitian lagi.

“ Bhatara Lumah ing Burwan “ 

Bhatara Lumah ing Burwan tertulis dalam Prasasti Sukawana AII Lempeng III.a. Berangka tahun Saka 976, yang mana kutipannya sebagai berikut :

“ …….. manambah i pāduka haji anak wungśunira kālih, bhaį¹­arÄ« saŋ lumah iŋ burwan, mwaŋ bhaį¹­Ära dewatā saŋ lumah ri baƱuwka, …….. ‘.

Terjemahan :

“ …….., menghadap Baginda raja Anak Wungsu atas nama Bhatari yang dicandikan di Burwan, dan Bhatara yang dicandikan di Banyu Wka. …,.,,. “. 

Pedharman atau Percandian yang di Maksud ada di Pura Bukit Dharma Durga Kutri Desa Buruan Gianyar dan Bhatari yang dimaksud adalah Gelar Penyucian Sang Ratu Luhur Sri Gunapriya Dharmapatni. Sedangkan di Banyu Wka, masih menjadi diskusi Para Ahli, apakah letak Banyu Wka di Pura Mengening apakah di Candi Tebing Gunung Kawi, Tetapi Kedua Tempat itu sangat berdekatan. Ada yang unik tentang hal ini, karena dalam Prasasti Tengkulak A ada disebutkan “ , mājar an mÅ«la kinon haji dewatā saŋ lumāh riŋairwka sajalu strÄ«, “ ( untuk menyatakan bahwa Mereka sudah sejak dahulu, yaitu sejak pemerintahan Raja Suami Istri yang telah dicandikan di Air Wka ). Sajalustri yang dimaksud adalah Raja Udayana dan Ratu Sri Gunapriya Dharmapatni. Jadi Ratu Gunapriya Dharmapatni dicandikan di Dua Tempat, di Burwan ( Buruan ) dan di Air Wka ( Pura Mengening atau Candi Tebing Gunung Kawi ). Jadi jelas disini bahwa ada salah satu Pedharman atau Bangunan Suci dimana Roh Suci Sang Ratu dilinggihkan atau dua duanya. Semakin menguatkan bahwa Pedharman adalah sama dengan Penyawangan. Haji Sajalustri adalah Orang Tua Raja Airlangga. Raja Marakata Pangkaja dan Raja Haji Anak Wungsu. 


Bagaimana dengan Pura Pedharman yang ada di Sekitar Pura Besakih ? Kapan mulai dibangun ? 

Mengenai Gunung Agung dan Desa Besakih sangat sulit ditemukan dalam Prasasti Bali Kuno, yang ada tercatat adalah Bukit Tulangkir seperti tertulis dalam Prasasti Bebandem Lempeng 10.b, tahun Saka 1056. Mungkin Bukit Tulangkir adalah sebutan yang digunakan jaman dulu untuk sebutan Gunung Agung. Sedangkan Besakih dulu disebut Desa Hulundang di Basuki tercatat dalam Prasasti setelah Pemerintahan Bali Kuno yaitu saat Pemerintahan sudah berganti dari Dinasti Warmadewa ke Dinasti Dalem, seperti yang tertulis dalam Prasasti Besakih A Berangka tahun Saka 1366 dan diperkirakan yang bertahta saat itu adalah Dalem Sri Semara Kepakisan. Dan Desa Hulundang di Basuki ( Besakih ) dipertegas kembali dalam Prasasti Besakih B Berangka tahun Saka 1380 yang diperkirakan yang bertahta saat itu adalah Dalem Waturenggong. Hulu = Pusat, Dang = Suci. Jadi ini mungkin asal usul Besakih disebut Kawasan Suci. Dalam Lontar atau Babad ada yang menyebutkan Pura Pedharman di Besakih didirikan Tahun Saka 1400 ada juga yang menyebut Tahun Saka 1465. Entah mana yang benar, tetapi diperkirakan saat Pemerintahan Dalem Waturenggong. Tetapi Pura Pedharman yang ada saat ini bukan semua dibangun tahun / masa itu. Kemungkinan Jaman Dulu, Pura Pedharman didirikan untuk Menyatukan Trah / Soroh yang ada di Bali. Kalau memang begitu, saya semakin salut buat Sang Raja. 


Apakah Pedharman Orang Hindu Bali hanya ada di Besakih ?

Pura Pedharman tidak hanya di Besakih. Karena banyak Pura Pedharman di daerah lain di Bali seperti yang ada di Kabupaten Bangli, di Kota Madya Denpasar, di Kabupaten Klungkung dan mungkin juga banyak di daerah lain di Bali. 


Apakah semua Orang Hindu Bali mempunyai Pedharman ?

Jawabannya : Ya atau Tidak atau Belum ketemu. 

Ya, kalau kita sepakat bahwa Pura Pedharman adalah Pura atau Bangunan Suci yang dibangun untuk melinggihkan Roh Leluhur yang telah suci atau Penyawangan.

Tidak, karena mungkin tidak semua Orang Hindu Bali menyebut Bangunan Suci untuk Melinggihkan dan Menyembah Leluhur dengan sebutan Pedharman, mungkin sebutan nya berbeda. 

Belum Ketemu, karena memang belum ketemu. 


Bagaimana sebaiknya, kalau Kita tidak tahu Pura Pedharman ?

Berusahalah mengingat Tetua Kita, kemana kita diajak Sembahyang jaman dulu atau mungkin juga perlu bertanya ke Jro Dasaran atau mungkin menggunakan “ Keleteg Bayu “. Kalau tidak ketemu juga jangan berkecil hati, paling tidak kita sudah berusaha, andaikan belum ketemu dan kalau Kita memang ingin sembahyang memuja Leluhur sebelum sembahyang ke Pura Besakih atau ke Pura yang lain, tidak usah bimbang, sembahyang lah ke Pura Dadia / Pura Ibu atau di Sanggah Kemulan yang ada di Rumah, Toh kita sudah memuja Leluhur sebelum memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa, Jadi kalau ada teman yang bertanya, Sudahkah Kamu sembahyang ke Pedharman, jawablah : Saya sudah menyembah Leluhur saya atau Ida Bethara Kawitan saya di Sanggah Kemulan saya. 

Haruskah Kita mempunyai Pura Pedharman ?

Menurut saya, tidak harus, karena tidak ada satupun Catatan di Prasasti Bali Kuno yang mengharuskan Orang Hindu Bali mempunyai Pura Pedharman. Atau mungkin Pedharman disebut dengan nama yang berbeda di masing - masing Desa di Bali. Dan kalau ada Pesemetonan / Trah berniat membangun Pura Pedharman yang baru, itu juga boleh boleh saja selama ada Kesepakatan Keluarga Besar atau Pesemetonan. 

Apakah Pura Pedharman sama dengan Pura Kawitan ? 

Bisa dibilang berbeda bisa dibilang sama. 

Berbeda, karena ada beberapa Pesemetonan / Trah yang mempunyai Pura Kawitan di Satu Daerah dan Pura Pedharman di Daerah lain. Pura Kawitan biasanya Pura yang didirikan di Tempat terakhir Perjalanan Leluhur yang dalam Babad biasanya ditulis dengan Perjalanan Wanasrawa / Bertapa atau Moksah. Sedangkan Pura Pedharman biasanya untuk melinggihkan atau seperti Penyawangan, tetapi ada juga sebagai Perjalanan Terakhir Leluhur. Tetapi tetap saja sebagai Tempat memuja Leluhur. 

Sama, karena disamping sama sama untuk memuja Leluhur, banyak juga Pura Pedharman sekaligus sebagai Pura Kawitan dan Pura Kawitan sekaligus sebagai Pura Pedharman dalam Satu Pura. 


Bagaimana dengan Sejarah Kawitan ?

Ini juga sulit untuk menjawab nya


SEJARAH KAWITAN

Pura Kawitan atau istilah Kawitan dan Pura Pedharman sama - sama tidak tercatat dalam Prasasti Bali Kuno dari tahun Saka 804 sampai tahun Saka 1264. Kemungkinan istilah Kawitan baru ada sesudah Era Dinasti Warmadewa atau setelah Era Bali Kuno dan Para Ahli menyebut dengan sebutan Zaman Baru sekitar tahun 1.500 - 1.800 Masehi. Ada juga yang bilang bahwa Kawitan berasal dari kata “ Wit “ = Asal. 


Untuk mencari dan menentukan Kawitan mungkin lebih baik kita belajar dari sebuah Pohon Kayu Besar:

Pohon Kayu Besar terdiri dari :

Akar / Batang 

Dahan

Ranting

Ranting dari Ranting 

Penjelasannya : 

Akar / Batang adalah yang paling awal yang biasanya dalam Babad diterjemahkan dengan Tokoh ( Leluhur ) yang merupakan Putra / Putri “ Sang Pasupati “ atau yang sudah tidak bisa diketahui dan Berstana di Pura Kawitan ( Kadang ada yang menyebut Kawitan Pusat ) atau di Pura yang bukan disebut Pura Kawitan tetapi disebut dengan sebutan lain tergantung Pesemetonan atau tergantung Dresta yang berlaku di suatu Desa.  

Dahan adalah Anak - anak Beliau, Berstana di Dadia Agung ( Kadang juga didirikan di beberapa tempat menurut kesah nya Beliau ). 

Ranting adalah Cucu - cucu Beliau dan Berstana di Dadia ( Ada yang menyebut Sanggah Dewa Hyang, Sanggah Gede, Ibu, Merajan dan lain - lain ). 

Dan ranting dari ranting adalah Sanggah Kemulan yang ada di Rumah. 

Atau urutan nya yaitu :

Pura Kawitan

Dadia Agung 

Dadia ( Sanggah Gede ) 

Sanggah Kemulan 

Bisakah memuja Leluhur atau Ida Bethara Kawitan di Tempat Suci diatas ?

Bisa dan sangat bisa. Karena sebenarnya Semua Pura / Dadia / Sanggah termasuk juga Pedharman adalah termasuk Kelompok Pura Kawitan. 

Apa yang menghubungkan secara tegak lurus ?

Yang menghubungkan adalah “ Tirtha “. Setiap Odalan di Dadia, biasanya kita akan Nunas Trtha ke Dadia Agung, Tirtha dari Dadia kita akan tunas untuk diperciki di Kemulan, setiap Odalan di Dadia Agung, kita akan nunas Tirtha ke Pura Kawitan, ini juga mungkin merupakan Pilar konsep Agama Tirtha sebelum Orang Bali memeluk Agama Hindu secara resmi tahun 1958 Masehi. 

Dalam beberapa Pesemetonan, mungkin Pura Dadia Agung disebut berbeda atau mungkin tidak ada Dadia Agung tetapi dari Dadia langsung ke Pura Kawitan ( Kawitan Pusat ). 

Yang ada di Bali saat ini adalah bahwa Suatu Trah / Soroh mengatakan bahwa sudah mengetahui Kawitan yang paling Awal ( Batang ). Ada juga yang menyebut sudah mengetahui Kawitan padahal mungkin baru di Dahan, ada juga yang sudah mengetahui Kawitan padahal mungkin baru di Ranting. Itu mungkin sah sah saja karena memang itu yang diketahui dan sudah disepakati oleh Keluarga Besar. 

Bagaimana dengan Pedharman / Kawitan Orang Bali Purba / Orang Bali paling awal / Orang Bali Kuno ?

Ini yang mungkin paling sulit untuk dijawab.


Bali Purba / Pra Sejarah 

Di Jaman Pra Sejarah ( Pada Tahun 150 Sebelum Masehi ) Bali sudah dihuni oleh Masyarakat yang berbudaya terbukti dengan penemuan Ratusan Sarkofagus hampir di Seluruh Bali dan Sarkofagus termuda umurnya 2.000 Tahun. Dan ada juga Situs Purba Awal Masehi di Sembiran, Pangkung Paruk, Pacung dan lain - lain, yang mana banyak ditemukan benda benda Kuno dari India, dari Dinasti Han China, Asia Tenggara dan lain - lain. Hal ini membuktikan bahwa Bali sudah mempunyai Pelabuhan Internasional Sebelum Masehi terutama di Bali Utara dan tentu Penduduk nya juga banyak. 

Dan di jaman Bali memasuki Jaman Sejarah, Seperti kita ketahui ada fakta tertulis yang tak terbantahkan bahwa dari tahun Saka 804 sampai tahun Saka 1264 atau dalam rentang waktu 460 tahun, ada Pemimpin Agama, Raja dan Keluarga Raja, Punggawa kerajaan, Rakyat Biasa yang mendiami Pulau Bali, diantaranya :


Pemimpin Agama / Pendeta

Pendeta Utusan Siwa yang bergelar Dang Acaryya yang berasal dari beberapa daerah di Bali seperti dari Banu Garuda, Air Gajah, Antakunjarapada, Binor, Dharmma Hanar, Haritanten, Kanyabhawana, Kusumadanta, Lokeswara, Suryamandala, Udayalaya. Pendeta Utusan Budha yang bergelar Dang Upadhyaya yang berasal dari Bajrasikara, Badaha, Wihara Bahung, Buruan, Canggini, Dharmarya, Kutihanar, Lwa Gajah, Waranasi. Disamping Pendeta Siwa Budha ada juga yang menjabat sebagai Pendeta Kabayan ( Yang juga bergelar Dang Acaryya, Bhiksu dan lain - lain ), Walyan ( Balian ), Mpu, dan lain - lain. Yang sering berganti Tokoh yang menjabat sesuai dengan Raja yang bertahta.


Raja / Ratu 

Dari Tahun Saka 835 sampai Tahun Saka 1264 ada 21 Raja / Ratu yang bertahta dari Sri Kesari Warmadewa sampai Paduka Bhatara Sri Astasura Ratna Bumi Banten. 


Senapati

Ada 15 Jabatan Senapati dari Senapati Wrsabha ( Wrsanten ) sampai Senapati Tunggalan yang juga sering berganti Tokoh sesuai dengan Raja yang bertahta. 


Punggawa Kerajaan

Ada Jabatan Samgat, Manuratang, Hulu, Nayakan dan lain - lain yang juga sering berganti Tokoh sesuai dengan Raja yang menjabat.


Komunitas / Penduduk Desa

Ada Puluhan Nama Daerah dan Wanua ( Desa ) yang tercatat dalam Prasasti Bali Kuno dan mungkin ada Ratusan termasuk yang tidak tercatat yang didiami oleh Penduduk atau Komunitas Bali Kuna. 

Bayangkan, Keturunan Orang Bali Purba yang beranak pinak selama 2000 Tahun lebih dan Tokoh - tokoh yang sudah hidup dan berkeluarga di Bali dari sekitar tahun Saka 804 atau selama 1000 tahun lebih, bayangkan berapa jumlah Nya sekarang. Menurut perkiraan saya, jumlah nya mungkin Ratusan Ribu bahkan mungkin Jutaan. Dimana kira kira Masyarakat Bali Kuna bernaung dan mendirikan Pura untuk memuja Leluhur yang seperti sekarang disebut Pura Pedharman atau Pura Kawitan. Mungkinkah ada yang bergabung dengan Pasemetonam / Trah / Soroh lain yang familiar di Bali saat ini atau mungkin masih mencari dan mungkin sudah nyaman dengan tradisi yang dijalankan selama ini yaitu menyembah Leluhur di Sanggah Keluarga atau di suatu Pura. Dan mungkin juga Bangunan Suci untuk menyembah Leluhur bukan disebut Pura Pedharman atau Pura Kawitan tetapi disebut dengan sebutan yang berbeda. Begitu juga mungkin Leluhur disebut dengan sebutan lain atau Sebutan untuk Leluhur masih tetap sama dengan sebutan seperti Jaman Bali kuno dan masih dipertahankan sampai sekarang, sehingga tidak disebut Ida Bethara Kawitan. 

Berbicara mengenai Leluhur / Kawitan, saat ini biasanya dikaitkan dengan Soroh, Trah bahkan Kasta. Kembali ditegaskan bahwa di Jaman Bali Kuna dari tahun Saka 804 sampai 1264 tidak satupun tertulis tentang Kasta dan tidak ada Kasta atau Catur Kasta saat itu. Tapi yang ada adalah 5 Golongan / Jabatan yaitu Brahmana, Ksatria, Wesya, Sudra, Budak seperti tertulis dalam Prasasti Sawan AII - Bila B Halaman VII.b, berangka tahun Saka 995. Sebagai contoh, dalam Prasasti Gobleg B ( Air Tabar II ) Lempeng II.b. Saka 905, bahwa yang menjabat sebagai Nayakan Makarun ( Kepala Sidang ) adalah Dang Acaryya Narotama. Dan sangat jelas bahwa gelar Dang Acaryya adalah gelar Pendeta Siwa. Tapi di Prasasti diatas Beliau tidak menjabat sebagai Utusan Pendeta Siwa ( Maha Brahmana ), tetapi sebagai Kepala Sidang ( Jaman sekarang mungkin selevel Ketua DPR ). Jadi kalau dipaksakan ke Sistem Kasta, jadinya Beliau berkasta 2 yaitu Brahmana atau Ksatria ( kalau Narotama adalah Keluarga Raja yang memimpim Sidang ) atau bisa juga berkasta Wesya, kalau Narottama adalah Punggawa Kerajaan yang bukan dari Keluarga Raja. Jadi jelas sekali bahwa 5 Golongan itu adalah Jabatan. 

 ( Mohon maaf, kita stop dulu membahas Kasta karena Tulisan ini tidak bermaksud menyinggung Kasta, tetapi murni menelisik tentang Sejarah Leluhur ). 


Mari kita lanjutkan ke alur tulisan ini. 

Pemujaan terhadap Leluhur sudah berakar kuat di Bali mungkin sejak Ribuan Tahun yang lampau dan dipercaya bahwa Roh Nenek Moyang yang telah Suci bersemayang di Puncak Gunung yang disebut dengan “ Hyang “. Dan sudah sepatutnya kita berterima kasih kepada Leluhur Kita / Tetua Kita karena sudah berpesan kepada kita. 

Pesannya yaitu 

“ Sembahlah Leluhur Mu sebelum menyembah Dewa Dewi “

Pesan yang disampaikan oleh Tetua - tetua Kita bukan tanpa alasan, karena bukti tertulis tak bisa dibantah. Karena banyak tertulis dalam Prasasti Bali Kuno yang sahih, yang biasanya ditulis di bagian Sapatha ( Persumpahan ), seperti yang tertulis di Prasasti Sukawana AII Lempeng IV.a. Tahun Saka 976, Raja yang bertahta adalah Paduka Haji Anak Wungsu, yang kutipannya sebagai berikut :

“ ……., mataŋnyan pinadahakěn sapatha i bhaį¹­Ära puntahyaŋ, indaįø„ ta kita kamuŋ hyaŋ para dewatā, hyaŋ nga_ _gasti mahāŗsi, pÅ«rbwa satya, dakČæiį¹‡a dharma paƧcima kāla, uttāra mįŗ»rtyu, agneya krodha, neriti kāma, wayabya Ä«swara, aiśanya harih, yajamaį¹‡Äkāśa dharma Å«rddhamadhaįø„ rawi śaśi kşiti jala pawaį¹‡a, hutāsāna, ahoratri sandyādwāya, yakşa rakşasa piśaca pretāsura garuįøa gandharwa grahā nakşatra kinnara gaį¹‡a, a_ _horaga caį¹­wāriŋ lokapala yama bāruį¹‡a, kuwera bāawa mwaŋ putra dewatā, paƱca kusika, nandīśwara, mahākāla, sadwināyaka, durgādewÄ« caturāstra, ananta sule_ _ndra(a)nanta kālamŗtyu, gaį¹‡a bhÅ«ta, rājabhÅ«ta, kita prasiddha rumakşa bhÅ«mi rahyaŋ ta ri bali, …….. “.

Terjemahan :

“ …….. , Oleh sebab itu dimohonkan persumpahan ( kutukan) ke hadapan Bhatara Punta Hyang. Wahai yang mulia para leluhur, para dewata Hyang Ngagasti Maharesi, di timur Satya, di selatan Dharma, di barat Kala, di utara Mertiyu, di tenggara Kroda, barat daya Kama, barat laut Iswara, timur laut Harih, yajamanakasa Dharma, Tengah, atas, bawah, matahari, bulan, tanah, air, angin, api, siang malam, pagi, sore, yaksa, raksasa, pisacapretasura, Garuda, Gandharwa, bintangbintang, Kinnara, Gana, Naga Besar, Empat Lokapala, Yama, Baruna, Kuwera, Basawa, serta Putra Dewata, Panca Kusika, Nandiswara, Mahakala, Sadwinayaka, Durgadewi, Caturastra, Anantasulendra Ananta Kalamertya, Gana Bhuta, Raja Bhuta kamulah semua yang menguasai bumi leluhurmu di Bali, …….. “.


Konsep Pura Pedharman dan Pura Kawitan mungkin berbeda di beberapa Desa di Bali terutama di Desa Tua di Bali, karena masing - masing punya Dresta atau semacam Bhisama dan harus kita hormati. 

Karena istilah Ida Bethara Kawitan belum ada saat Jaman Bali Kuno, lalu apa kira - kira sebutan Nya ? 

Sebutan yang sangat mungkin adalah “ Sang Siddha Dewata “. Penjelasannya sebagai betikut :

Dalam Kamus Bahasa Bali Kuno,

Siddha = Sempurna, Terlaksana, Tercapai, Meninggal dan dalam Bahasa Bali Kepara berarti Bisa. 

Dewata = Dewa, Para Dewa, Raja atau Ratu yang telah mangkat dan disucikan serta dianggap telah berwujud sebagai Dewa atau Dewi. 

Jadi kalau digabung, bisa berarti “

Yang sudah Sempurna dan bisa mencapai Alam Dewa Dewi. 

Bukti ini tertulis dalam Prasasti Resmi Kerajaan tahun Saka 889, seperti yang sudah dijelaskan diatas pada Prasasti Kintamani A Lempeng I.a. yaitu “ …….. mÅ«la ānugraha sang ratu sang siddha dewatā sang lumah di ai(r) madhatu …….. “. 

Sekarang kalau Keluarga Besar sudah sepakat menggunakan istilah Kawitan, mari Kita lanjutkan. 


Bagaimana dengan Satu Keluarga mempunyai Dua Pedharman dan Kawitan atau lebih ?

Ini mungkin kurang elok.

Kalau Keluarga Besar Kita sepakat dengan suatu Pedharman dan Kawitan dan baik baik saja, lebih baik jangan mengubah Sesuatu

Kalau ada Satu Keluarga Besar dalam satu Dadia yang terdiri dari beberapa Kakek tetapi beda Kawitan dan Beda Pedharman. Ini mungkin kurang elok

Kalau ada Kakak Beradik Bersaudara Kandung, Sang Kakak ke Kawitan A Dan Sang Adik ke Kawitan B, ini mungkin kurang kondusif

Disini mungkin perlu rembug dalam Keluarga dan dengan sikap saling menghargai untuk mencari Solusi dan Nunas Sica. Semoga Leluhur memberi Petunjuk yang baik.

Salut buat Masyarakat Desa Besakih dan Masyarakat Desa yang lain yang sudah menjaga Parahyangan Ida Bethara Bethari Sesuhunan. 

Jadi marilah kita saling menghargai. Ada yang punya Pedharman dan Pura Kawitan ada juga yang tidak. Ada yang menyebut Leluhur nya dengan sebutan yang berbeda dengan yang lain. Setiap daerah dan mungkin setiap Desa mempunyai ritual yang berbeda untuk menyembah Leluhur. Itulah salah satu keunikan Bali yang penuh Keberagaman. Yang penting, mari kita Pertahankan Tradisi Penyembahan Leluhur yang merupakan Warisan Adiluhung Bali Kuno. 

SANGAT PANJANG KALAU DITERUSKAN

Cukup sampai disini dulu nggih 


Tulisan yang penuh dengan kekurangan, karena Penulis hanyalah Penggembira Sejarah, mohon Sidang Pembaca memakluminya

Jukut kangkung misi sambel sera 

Kirang langkung Titiang nunas gengrena sinempura


Disarikan dari : 

- Pupulan Prasasti Bali Kuna. Kapupul oleh Guru I Wayan Sariana

- Hasil Diakusi dengan Bapak Emon Putra Ganesh

- Sejarah Kebangkitan Nasional Bali. Oleh Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. Jakarta 1978.

- Kamus Bali Kuno - Indonesia. Departemen Pendidikan Dan Kebudyaan Jakarta 1985.

Dumogi Makasami ngemanggihin kerahayuan

Comments

Postingan Lain

Jodoh di Urutan ke-3 Tanda Pesawat IG

Kata Orangtua Jaman Now, Jodoh kita itu adanya di urutan ke-3 tanda pesawat akun IG.  Masalahnya adalah, yang berada di urutan ke-3 itu bapak-bapak ganteng brewokan berambut gondrong.  Lalu saya harus gimana ?  #jodohurutanketigadipesawat  Mestinya kan di urutan SATU ?

Mewujudkan Agenda Cuti Bersama Lebaran

Tampaknya di Hari terakhir Cuti Bersama Lebaran, sebagian besar rencana yang ingin dilakukan sejak awal liburan sudah bisa terwujud, meski masih ada beberapa agenda lainnya yang belum bisa dijalani.  Satu hal yang patut disyukuri, setidaknya waktu luang jadi bisa dimanfaatkan dengan baik untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan tertunda beberapa waktu lalu.  1. Migrasi Blog Aksi pulang kampung ke laman BlogSpot tampaknya sudah bisa dilakukan meski dengan banyak catatan minus didalamnya. Namun setidaknya, harapan untuk tidak lagi merepotkan banyak orang, kedepannya bisa dicapai. Sekarang tinggal diUpdate dengan postingan tulisan tentang banyak hal saja.  2. Upload Data Simpeg Melakukan pengiriman berkas pegawai ke sistem online milik BKD rasanya sudah berulang kali dilakukan sejauh ini. Termasuk Simpeg Badung kali ini, yang infonya dilakukan pengulangan pengiriman berkas dengan menyamakan nomenklatur penamaan file. Gak repot sih sebenarnya. Tapi lumayan banyak yang harus dilengkapi lagi. 

Warna Cerah untuk Hidup yang Lebih Indah

Seingat saya dari era remaja kenal baju kaos sampai nganten, isi lemari sekitar 90an persen dipenuhi warna hitam. Apalagi pas jadi Anak Teknik, baju selem sudah jadi keharusan.  Tapi begitu beranjak dewasa -katanya sih masa pra lansia, sudah mulai membuka diri pada warna-warna cerah pada baju atasan, baik model kaos oblong, model berkerah atau kemeja.  Warna paling parah yang dimiliki sejauh ini, antara Peach -mirip pink tapi ada campuran oranye, atau kuning. Warna yang dulu gak bakalan pernah masuk ke lemari baju. Sementara warna merah, lebih banyak digunakan saat mengenal ke-Pandean, nyaruang antara warna parpol atau merahnya Kabupaten Badung.  Selain itu masih ada warna hijau tosca yang belakangan lagi ngetrend, merah marun atau biru navy. Semua warna dicobain, mengingat hidup rasanya terlalu sederhana untuk dipakein baju hitaaaaam melulu.  Harapannya bisa memberikan warna pada hidup yang jauh lebih cerah, secerah senyum istri pas lagi selfie. 

Semua Berakhir di 5 Besar Teruna Teruni Denpasar 2024

Bermula dari coba-coba lalu masuk menjadi 5 Besar Finalis Teruna Teruni Denpasar Tahun 2024, putri kami Pande Putu Mirah Gayatridewi ternyata masih berusia 15 Tahun saat Grand Final dilaksanakan di Gedung Dharma Negara Alaya Lumintang Kota Denpasar, hari Minggu 18 Februari 2024 kemarin. Berhasil menyisihkan puluhan peserta dengan tingkat prestasi berskala Kab/Kota, Provinsi dan Nasional, ia mendapatkan undangan dari Panitia TTD untuk mengikuti perhelatan bergengsi ini, pasca meraih Juara Pertama Teruna Bagus Teruni Jegeg Sisma -SMAN 7 Denpasar Tahun 2023 lalu. Sehingga batas bawah Umur Peserta yang seharusnya 16 Tahun, infonya ditoleransi mengingat usianya sudah jalan menuju angka 16 sebulan kedepan.  Meski hanya sampai di peringkat 5 Besar, kami semua turut bangga mengingat ini adalah kali pertama putri kami mengikuti ajang tingkat Kab/Kota, menjadikannya sebagai Finalis Termuda diantara peserta lainnya. Bahkan kami dengar, merupakan siswa pertama di sekolahnya yang lolos hingga jenja

62 Tahun Bang Iwan Fals

Pekan ini Bang Iwan Fals kalau gak salah genap berusia 62 tahun. Umur yang gak muda lagi meski masih sering melahirkan karya-karya baru bareng anak-anak muda milenial.  Saya mengenal lagu-lagu Bang Iwan tepatnya di era Album Wakil Rakyat. Sebuah karya jelang Pemilu 1988 yang mengetengahkan lagu soal para legislatip yang biasa bersafari, dengan keragaman perilaku mereka di jaman itu.  Lirik lagunya tergolong sederhana, dan aransemennya juga mudah diingat. Gak heran di jaman itu pula, saya kerap membawakan lagu Wakil Rakyat sebagai lagu kebanggaan pas didaulat nyanyi didepan kelas, didepan 40an anak kelas 4 atau 5 kalau gak salah.  Dan ada juga beberapa karya sang musisi, yang dibawakan sesekali macam Kereta Tua atau Sore Tugu Pancoran yang bercerita soal si Budi kecil.  Terakhir menyukai karya Bang Iwan kalau ndak salah di album Suara Hati (2002). Yang ada track Untuk Para Pengabdi dan Seperti Matahari. Dua lagu favorit saya di album itu. Setelahnya hanya sebatas suka mendengar sebagian