Mendengar kabar meninggalnya Uwak Sarigading, Kamis dini hari 28 Mei 2020 kemarin, mengingatkan saya pada kisah masa lalu dimana kabarnya saya hampir menjadi bagian dari keluarga ini.
Itu sebabnya saya memiliki sosok ‘Ajik’ yang belakangan diketahui bermakna ‘panggilan pada sosok seorang Ayah’.
Uwak Sarigading lahir pada tahun 1937 dan memiliki nama Ni Putu Agustini. Beliau menikah dengan kakak sepupu dari Bapak bernama Odantara. Mereka memiliki dua orang putri yang kini sudah menjadi Ibu berdomisili di Jakarta. Dokter Irene Sakura Rini dan Ota.
Sebelum Beliau pergi, Bli Made sepupu saya, yang selama ini merawat di rumah Sarigading, sempat melakukan kontak telepon yang sayangnya tak tersambung. Mengingat kebiasaan saya mematikan fungsi telepon alias mengaktifkan AirPlane Mode, sesaat sebelum beristirahat malam. Saya baru tersadar saat Istri terhenyak pukul 2.30 dini hari mendapati layar ponselnya menyala pasca telepon dari bibi sebelah rumah.
Prosesi penentuan hari baik upacara Beliau cukup panjang, mengingat kedua anaknya saat kabar duka disampaikan, masih berada di Jakarta. Standar prosedur Covid-19 yang berlaku baik di Jakarta maupun Bali, cukup membuat mereka kebingungan menentukan jalur kepulangan, apakah melalui penerbangan yang tak kunjung mendapatkan tiket, atau jalan darat yang cukup panjang.
Pun dengan jadwal agenda pengabenan yang ditentukan hari Selasa 9 Juni tadi pagi. Upacara digenapkan hingga Ngelanus atau Memukur dengan harapan langsung melinggih di Rong Telu, sesuai harapan Beliau sebelum kematian menjelang.
Agar pada piodalan merajan rumah Sarigading, 17 Juni mendatang, upakara Beliau sudah selesai tanpa menyisakan hutang.
Comments
Post a Comment