Sembari kami mempersiapkan sarana persembahyangan di keramaian pemedek yang tangkil pada hari jumat lalu di Pura Batur Kintamani Bangli, berkali-kali Panitia lewat corong suara mengingatkan para pecalang utamanya yang berada di pintu keluar sisi Utara dan Selatan area Pura untuk menjaga agar tidak ada yang menerobos masuk dan menyarankan untuk menggunakan gerbang utama. Lantaran tak jua digubris oleh pemedek yang masih saja berusaha keras merayu para pecalang, pintupun ditutup paksa dan dijaga ketat.
Meski demikian, usai persembahyangan tetap saja pintu keluar ini menjadi area lalu lintas pemedek dua arah yang mengakibatkan penuh sesak dan terhimpitnya anak-anak hingga menimbulkan emosi dari banyak orang.
Wah Wah… kalau begini jadinya, susah juga ya mau beribadah dengan hati yang tenang…
Lain lagi saat persembahyangan dilakukan. Padahal sebelumnya panitia sudah menyarankan pemedek untuk mematikan ponsel agar nantinya suara notifikasi ataupun deringnya tidak mengganggu konsentrasi pemedek lain.
Tapi ya gitu deh… ada aja yang bandel… maka wajarlah banyak yang ngedumel saat kusyuknya persembahyangan tiba-tiba tersentak lantaran nyaringnya musik dangdut koplo dan denting bbm berkali-kali memecah sunyi.
Usai persembahyangan, meskipun sudah diingatkan untuk menjaga kebersihan, teteeeep aja yang namanya kelakuan dan kebiasaan untuk tidak mematuhi aturan dilakukan.
Masih perlu saya ceritakan seperti apa wajah area pura saat ditinggalkan pemedek ?
Hari sudah menunjukkan jam makan siang saat kami tiba di parkiran bawah Pura Besakih. Berbekal sedikit pengetahuan yang didapat lewat jejaring sosial soal harga makanan disini, kamipun berusaha mengabaikan tawaran banyak pedagang yang ada di sisi kiri dan kanan sepanjang jalan.
Namun alangkah kagetnya saat masuk ke pelataran Pura Besakih penuh sesak oleh pedagang acung dan asongan, menjajakan berbagai makanan hingga mainan, campur aduk dengan para fotografer polaroid, tamu mancanegara yang berpakaian minim juga pemedek yang tampak asyik duduk bersama keluarga menikmati semuanya di sela itu semua. Wajah pelataran jadi makin tampak jorok dan kumuh lantaran sampah yang berserakan padahal semua anjuran tertera jelas dilengkapi dengan tong sampah yang sudah diatur terjangkau. Ini sebenarnya mau apa sih ?
Yang makin membuat parah adalah barisan pedagang (bali) tetap bisa dijumpai di sisi emperan, luaran pura Pedarman, berjualan sarana persembahyangan dan minuman.
Memang sih, event kayak gini merupakan ladang basah yang bisa dikeruk keuntungannya dari hari biasa, tapi apa gag kebablasan ?
Gag cuma itu, beberapa diantaranya tampak memaksa pemedek untuk membeli dagangan mereka dengan menaruh bunga dan canang lantas menagih sejumlah uang. Lantaran jengkel, beberapa pemedek tampak emosi menanggapinya. Namun dibalas enteng dan bahkan sedikit memelas. Kalo sudah begini, bagaimana caranya mau beribadah dengan hati yang tenang…
Usai menjalani semuanya, kamipun pulang dengan menyisir jalan aspal secara berhati-hati mengingat parkir kendaraan yang ada mengambil badan jalan hampir separuh lebih. Bersyukur lebar bodi kendaraan roda empat yang kami gunakan mampu melewatinya dengan baik. Gag kebayang kalo kendaraan orang lain yang sedikit lebih lebar.
Tapi tak disangka, beberapa orang tampak menghalangi jalur kendaraan dengan berjalan santai dan mengobrol seakan tak pernah ada kendaraan yang akan lewat.
Setelah terpaksa menekan klakson tiga kali untuk mengingatkan, orang-orang tersebut memberi jalan namun searah kemudian menggebuk dan melempar bawaan mereka ke bodi kendaraan sambil berteriak “gaya gen ci mare ngabe mobil…” (banyak tingkah kau baru membawa mobil)…
lha ? Bukannya sudah disediakan trotoar yang sedemikian bagusnya untuk pejalan kaki ?
Comments
Post a Comment