Kasus reklamasi pantai Tanjung Benoa oleh Artha Graha yang sedianya akan dilaksanakan pasca pencitraan semu dengan mendatangkan pesepakbola ternama Christiano Ronaldo bersama Pak Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden RI akhir Juni lalu, pada akhirnya mengundang banyak reaksi penolakan.
Dilihat dari perencanaannya, tentu rencana reklamasi yang bisa jadi dibaliknya terdapat nama seorang pengusaha kelas wahid Tommy Winata, terlihat begitu sistematis dan mengagumkan, mengingat banyak pihak yang kemudian dilibatkan, salah satunya Universitas Udayana, Perguruan Tinggi Negeri Bali yang sudah melahirkan banyak sarjana, magister bahkan doktor dan profesor.
Yang sayangnya berlaku sebagai pengkaji feasibility study atau analisa kelayakan dari target Reklamasi pantai seluas 400 hektare itu. Yang hasilnya tentu mendukung upaya reklamasi dengan belasan pembelaan dan dampak positif serta meminimalkan dampak negatifnya. Kesimpulan akhir, reklamasi pantai Tanjung Benoa, layak untuk diwujudkan.
Hasil feasibility study semacam ini, saya yakin sudah tidak asing lagi terdengar dan terbaca dimedia, mengingat sudah menjadi rahasia umum, bahwa sebuah FS atau analisa kelayakan bahkan dapat dibeli untuk memberikan satu keuntungan pada pihak yang memberikan tugas.
Hal ini tentu mengingatkan saya pada sesi pemaparan proposal Thesis di kelas Manajemen Konstruksi Magister Teknik Sipil Universitas Udayana, tahun 2009 lalu. Dimana saat itu salah satu kawan kuliah di angkatan kami, mengangkat satu tema yang begitu diminati banyak mahasiswa pasca sarjana lainnya, mengingat mudahnya topik diarahkan dan diselesaikan. Yaitu Analisa Kelayakan pada sebuah bangunan apartemen yang sedang dibangun di wilayah Kuta, Kabupaten Badung.
Satu pertanyaan yang saya ajukan saat itu adalah ‘bagaimana tindak lanjut yang kelak akan disarankan, apabila ternyata dalam proses dan hasil akhir analisa kelayakan menyatakan Tidak Layak untuk dibangun ? Dengan kata lain, apakah untuk mendukung satu kepentingan, proses dan hasil analisa kelayakan harus dipaksakan atau dilayak-layakkan ?’
Pertanyaan yang sangat sulit dijawab oleh si kawan kuliah saat itu. Tentu mandegnya jawaban yang diharapkan, mengakibatkan saya secara respek diserang balik oleh para sejawat si kawan kuliah yang tidak terima rekannya di pojokkan dengan pertanyaan tersebut.
Bisa jadi kondisinya saat ini serupa dengan hasil analisa kelayakan yang dikerjakan oleh para cendekia pintar di perguruan tinggi yang kebetulan menjadi almamater saya selama 2 periode perkuliahan.
Balik berbicara tentang analisa kelayakan yang dibuat oleh Tim LPPM Universitas Udayana dengan studi kasus reklamasi pantai Tanjung Benoa, bisakah dibeberkan kepada publik, bagaimana proses, kriteria penilaian, sumber data yang dicari serta dasar hukum yang digunakan sehingga hasil kajian, sudah barang tentu dan dijamin 120 persen akan menghasilkan kesimpulan layak untuk dilanjutkan dan diwujudkan.
Nah, apabila kemudian ditengah jalan pasca hasil kesimpulan analisa kelayakan dibeberkan kepada publik namun lebih banyak bertentangan dengan logika sosial, apakah publik, termasuk saya tentu saja, bisa mempertanyakan kredibilitas para penyusun kajian, baik kemampuan, daya analis, pola pikir serta kepentingannya, sehingga jika ini bisa membuktikan bahwa sebuah analisis Kelayakan dapat dipesan sesuai tujuan, dapat menjadi pembelajaran bagi para pembuat kajian lainnya, agar tidak serta merta menggadaikan kemampuan daya analisnya demi segepok uang.
Minimal kelak, jikapun kemudian lembaga pengkaji bisa bersifat independen, hasilnya bisa jadi tidak layak untuk diwujudkan, mengingat a, b, c, d dan seterusnya.
Apakah itu dimungkinkan ?
Comments
Post a Comment