Waktu terasa begitu cepat berlalu...
Baru kemarin Bapak anteng rebahan di kursi kayu ruang tamu sembari manggil De Titih, meminta agar ia segera mendekat, sekarang sudah sepi saja ini rumah. Gak ada lagi yang teriak-teriak di pagi hari. Gak ada lagi suara batuk berdahak yang terdengar. Semua kini dilanda rasa Kangen mendadak. Dari si bungsu Ara, mantu yang kerap menyapa, hingga Ibu yang sering diajak bertengkar. Semua mengaku kehilangan.
Saya pribadi mulai merasakannya ketika Bapak sudah masuk kamar jenazah di peti nomor 16 RS Wangaya Selasa siang kemarin. Lalu berlanjut merasa hampa ketika membersihkan diri Rabu pagi sebelum berangkat kerja. Memang agak beda jadinya. Dan perlu waktu lama untuk bisa menuangkan isi pikiran di tengah kesibukan menerima tamu yang datang dan juga melaksanakan kewajiban akan jalannya upacara hingga Selasa petang kemarin. Tidak mudah untuk bisa melewatinya dengan baik.
Sejak awal kepergian Bapak, saya merasa mungkin ini memang sudah jalan Terbaik baginya. Maka itu selalu berusaha untuk ikhlas, tabah dan menerima semua kenyataan tanpa ada rasa penyesalan ataupun kepedihan yang terlalu. Mengingat selama setahun terakhir, kami sudah berusaha merawat dan mengobati Bapak. Tak lupa menemaninya saat ia sedang Lupa, meski di awal-awal dahulu sempat kebingungan dan emosi. Namun seiring berjalannya waktu, semua hal jadi jelas berkat nasehat dan masukan dari dokter syaraf yang merawat bapak di poli RSAD.
Saya pribadi harus mengakui bahwa sesaat sebelum jenazah Bapak dibakar di pemuwunan krematorium Desa Adat Denpasar, sempat meneteskan air mata haru setelah menyaksikan ketiga cucunya menangis. Ya, ini kali pertama saya merasakan hal yang dalam pada seorang Bapak. Mungkin karena kami kaum laki-laki memang tidak pernah diajarkan bagaimana cara menumpahkan perasaan dengan baik.
Sudah nyaris dua minggu berlalu. Rasanya seperti baru kemarin...
Comments
Post a Comment