Timeline sosial media hari ini mendadak ramai, begitu pula whatsapp group sekolahan anak, dimana para orang tua murid satu persatu mengirimkan gambar seraya mengucapkan Selamat Hari Guru pada wali kelas yang ada didalamnya.
Sampai kemudian saya melihat postingan serupa dari akun twitter Presiden RI bapak Joko Widodo dan menyadarinya.
Guru adalah Pahlawan tanpa tanda jasa. Kurang lebih begitu yang diajarkan di bangku sekolahan dahulu. Mereka mengajarkan banyak hal, tidak hanya ilmu pengetahuan yang menjadi bidang keahlian mereka masing-masing. Tapi ilmu sosial, komunikasi dan etika. Diantara enam bangku pembelajaran yang pernah saya duduki, hanya bangku SMA saja yang paling banyak meninggalkan kesan. Kemungkinan besar, hanya pada jaman itu saja, Sekolah terasa benar-benar menyenangkan dan dinikmati.
‘Terpujilah wahai Engkau Ibu Bapak Guru,
Namamu akan selalu hidup… ‘
Dulu lagu ini kerap kami nyanyikan tiap kali latihan dalam barisan paduan suara upacara bendera.
Entah apakah anak jaman now masih ada yang tahu bahkan bisa hafal atau melafalkan Hymne Guru.
Apalagi jika kita melihat beberapa video tiktok dimana mereka jauh lebih mengenal sosok Atta Petir ketimbang Ibu RA Kartini atau bahkan alm.Gus Dur yang malah dikira anggota DPR.
Jaman saya kecil, masa Taman Kanak Kanak, satu-satunya guru yang masih saya ingat sampai sekarang adalah Ibu Guru Sukerti, Kepala Sekolah kami. Yang kerap memanggil nama saya saat bersua di jalanan. ‘Pande Nyoman Artawibawa Bagus…’
Nama yang kerap saya sebutkan saat berkenalan dengan orang pada masa itu, kata kedua orang tua.
Infonya kini Beliau sudah almarhum.
Masa Sekolah Dasar, adalah salah satu masa dimana saya saat ini bisa dikatakan merupakan anak durhaka. Lantaran gak bisa mengingat nama para guru satupun. Baru bisa mengingat setelah berkenalan lagi pasca menyekolahkan si sulung Mirah di sekolah almamater yang sama. Itupun gegara salah seorang guru memanggil nama saya dari kejauhan. Ampun dah.
Bu Sukerti, guru muda saat itu yang kini telah menjadi Kepala Sekolah SD Saraswati I menggantikan pak Astagina yang kini telah pensiun. Hanya dua guru ini saja, yang bisa saya ingat namanya. Sementara Pak Oka dan Bu Oka, Kepala Sekolah jaman old, entah dimana Beliau kini.
Saya mengenyam dua sekolah Menengah Pertama lantaran secara nilai dan kecerdasan, bukanlah merupakan murid yang masuk hitungan. Maka saat duduk di bangku SMP Swastiastu *sekarang telah berganti nama menjadi Santo Yoseph, rasanya hanya satu guru saja yang bisa saya ingat karakternya, tapi lupa nama.
Mata pelajaran Matematika, yang kerap memarahi anak didiknya jika salah menjawab dengan sebutan Te-O-eL-O-eL *Tolol, atau yang diam saja dengan sebutan Te-O-Ge-O-Ge *Togog/patung.
Jadi ingat lantaran dalam satu waktu saat Beliau bertanya soal ‘angka satu dibagi Nol’ hasilnya berapa, semua anak dalam kelas sigap berseru ‘Noool…’ tapi cuma saya yang menjawab ‘tak terhingga alias ekivalen’.
Meski awalnya semua kawan menertawai karena sendirian berpikir beda, tapi Beliau sependapat dengan saya.
Jadilah nama saya diingat sepanjang 2 semester pertama sekolah.
Naik ke kelas dua, saya pindah bangku ke SMPN 3 Denpasar. Satu-satunya guru yang bisa saya ingat adalah Bu Dayu Puniadhi, Guru Agama yang kerap mengingatkan kami untuk berpuasa 12 dan 24 jam saat hari raya Nyepi. Juga ada pak Kepala Sekolah, Sarwa Sutanaya.
‘Nostalgia SMA kita…’ jadi ingat suara mbak Paramitha Rusady deh kalo nyanyi ini. Ya memang gak heran, karena di masa sekolah inilah, semua keseruan tumpah dan terasa banget nikmatnya. Bandel-bandelnya terutama.
Guru SMA yang masih bisa saya ingat cukup banyak. Dari Pak Oka yang mengajarkan saya Matematika hingga mengantarkan kami ke agenda Olympiade dan gagal dengan suksesnya, Pak Sinah guru Fisika wali kelas kami yang dulu masih menjomblo sekaligus pembina Majalah Sekolah Candra Lekha, lalu ada Pak Bima salah seorang guru yang paling ditakuti, Pak Nyoman Muditha Kepala Sekolah terakhir yang saya tahu, dan Bu Suniati guru PMP yang pernah ngambek gara-gara kawan salah sebut nama kawan lainnya yang dikira memanggil Beliau.
dan yang terFavorit adalah Bu Astiti guru Kimia yang punya rambut keriwil khas dan mudah diingat. Belakangan saya baru tahu bahwa Beliau ini masih ada famili jauh dengan saya, melalui keluarga sebelah.
Sampai-sampai saat Reuni Angkatan 92 tahun 2010 tempo hari, saya menyempatkan diri untuk berfoto dengan Beliau bareng para senior yang saya kagumi.
Sementara di Bangku Kuliah, masa dimana pembelajaran dilalui secara sadar dan beban berat, ada banyak dosen yang masih bisa diingat nama dan wajahnya. Seperti almarhum pak Gelebet yang baru saja meninggalkan semuanya, pak Gomudha yang banyak membantu dari msta kuliah Kerja Praktek, KKN dan Skripsi Tugas Akhir, termasuk yang masih berhubungan baik sampai saat ini yaitu Pak Oka Landung, salah satu dosen yang banyak dimusuhi mahasiswa lantaran ‘killer’nya. Juga beberapa dosen muda yang kini menjadi kawan di Sosial Media.
Terakhir tentu saja bangku kuliah pasca sarjana dimana serupa dengan bangku kuliah diatas, dosen pengajar yang pernah dikenal ya masih hafal lah sampai sekarang. Termasuk para pegawainya yang banyak membantu proses.
Belakangan rupanya tak sedikit kawan masa bangku sekolahan dan kuliah yang ternyata memilih untuk mengabdikan diri dan hidupnya menjadi seorang guru, seorang pengajar bagi anak didik di jaman now.
Sekali lagi Selamat Hari Guru.
Selamat untuk para Pahlawan Tanpa Tanda Jasa.
Comments
Post a Comment