Jika saya melihat jauh kebelakang, sebenarnya Pekak Titih bukanlah orang jauh keluarga kami dari pihak Bapak. Beliau lahir dan besar disebelah rumah kami, sebagai anak bungsu dari empat bersaudara. Beliau meninggal pada usia 85-an tahun, selisih sedikit dengan kakak perempuannya yang meninggal pada akhir tahun 2008 lalu. Beliau sebenarnya lebih dikenal dengan sebutan Bli Tut Nadi oleh generasi Bapak dan saudara-saudaranya.
Status pernikahan Beliau dengan Istrinya (Nenek saya) adalah Nyentana. Jadi, rumah yang Beliau tempati sekarang sebenarnya merupakan hak waris yang dimiliki oleh Nenek. Tak heran, barangkali itu sebabnya Pekak sering mengalah pada Nini (sebutan kami pada Nenek) jika terjadi pertengkaran. Perkawinan Beliau dikaruniai sembilan orang anak, dimana dua anaknya meninggal mendahuluinya. dan Ibu saya merupakan anak kedua dari mereka.
Pekak dan Nini sebetulnya pada jaman saya kecil dahulu, dikenal orang sebagai pasangan guru Modes (kursus menjahit) dimana keahlian itu menurun dengan baik pada Ibu saya. Nama usaha itu adalah Modes Ratnadi. Berasal dari gabungan nama mereka berdua. Ratna adalah nama Nini dan Nadhi adalah nama Pekak. Modes ini sangat terkenal pada masanya, dan salah satu murid asuhnya waktu itu adalah Bapak saya. Bapak sudah ikut dengan mereka berdua sejak ia meninggalkan bangku sekolah SMP, usai kematian Pekak dari pihak Bapak.
Selain membuka sekolah Modes, Pekak juga membuka usaha menjahit di Gajah Mada. Tepatnya pada gedung yang tempo hari dilanda kebakaran. Bapak dan Ibu pasca perkawinan mereka, juga termasuk yang melanjutkan menempati los tersebut sebagai mata pencaharian utama. Saat saya kecil, seringkali diajak mampir ke tempat tersebut.
Satu-satunya ingatan saya akan masa kecil dahulu bersama Pekak, adalah saat saya untuk pertama kalinya diajak jalan-jalan mengitari areal gedung Gajah Mada tersebut. Bersama seorang sepupu yang usianya tak jauh beda, Donny dan saya diajak bermain menaiki kuda-kudaan yang dapat bergerak setelah dimasukkan koin kedalam kotak mesinnya.
Lantaran saya tak pernah menaikinya, saya berteriak ketakutan dan menangis saat diminta untuk tetap duduk diatas mainan tersebut. Huahahaha…. Untuk menenangkan saya, Kakek lantas membelikan susu kotak Ultra Milk rasa Coklat, yang ternyata hingga kinipun masih saya sukai. Rupanya kejadian tersebut tk jauh berbeda dengan Putri saya tempo hari, saat kami ajak bermain di arena mainan Tiara Dewata. Kenangan ini sangat berbekas hingga kini saya beranjak dewasa.
Seingat saya, Pekak dan Nini dikaruniai oleh anak-anaknya total 20 orang cucu dan delapan cucu diantaranya yang telah menikah, memberikan tak kurang 20 orang cicit. Putri kami adalah cicitnya paling terakhir saat ini.
Bersyukur pada saat ulang tahun Bapak (Pekaknya MiRah) 19 Oktober 2008, Putri kami, MiRah GayatriDewi sempat foto bareng Pekak Nini (Kompyang/Kumpinya MiRah) yang memang spesial saya ambil saat kami memutuskan untuk bersama-sama menengok Pekak di Titih. Waktu itu Pekak dikabarkan mengalami sesak nafas dan feeling saya mengatakan, saya harus bisa mendapatkan beberapa foto kenangan bersama Beliau. Mumpung Pekak masih ada bersama kami.
Maka jadilah salah satu foto mesra mereka saya edit dan cetak dalam ukuran 4R. Barangkali kelak, foto tersebut bakal menjadi kenangan paling berharga bagi MiRah Putri kami.
Bahkan, saat saya mencari dan membuka arsip foto pernikahan saya akhir tahun 2005 lalu, Pekak masih mampu ikut serta dalam tiga upacara pokok sebagai rentetan acara saat itu. Berikut adalah foto Pekak yang mendampingi saya saat ‘Tukar Cincin’ dirumah Istri, sebagai awal dari keseluruhan kenangan akan sebuah pernikahan saya…..
Dua hari menjelang Pekak mengalami sesak nafas dan harus dirawat di rumah sakit, Pekak sempat memberikan kenangan terindah pada Nini. Ini diceritakan oleh Nini kepada Istri saya, malam usai Pekak meninggal.
Pekak sempat membelikan makanan kesukaan Nini, saat ia kembali dari mengantarkan rekannya yang meninggal -sesama Veteran- ke Setra / kuburan. Bahkan Nini ditemani dengan sepenuh hati, mengambilkan air minum sekaligus memberikan pesan-pesan terakhirnya. Nini memang tidak menyadari jika itu adalah pemberian terakhir dari suaminya yang telah sekian tahun diajak hidup miskin dan menderita.
Kini Pekak sudah terbaring di Bale Dauh dengan tenang, sambil menunggu dewasa ayu untuk upacara pengabenannya. Sedianya akan dilaksanakan pada tanggal 10 Februari besok langsung dilanjutkan dengan upacara NgeLanus / Memukur hingga pagi esoknya.
Yah, berharap banget Pekak bisa tenang disana bersama tiga saudaranya yang barangkali telah menanti, dan biarlah cerita kenangan ini akan tetap kami simpan untuk mengingatnya.
We LoVe You Pekak…..
……paling tidak, semua cerita yang saya ungkap dalam BLoG ini barangkali akan menjadi kenangan pula bagi Anak Istri saya dan rekan-rekan kelak, jika satu saat saya dikehendaki pula oleh-Nya…..
so… KEEP BLoGGING…..
Comments
Post a Comment