Kami semua memanggilnya Pekak Titih.
Satu-satunya pekak yang saya tahu dan miliki sejak kecil dari pertalian darah pihak Ibu. Beliau salah satu anggota Legiun Veteran, dan sebulan terakhir masih aktif ikut mengantarkan rekannya yang mendahului menghadap pada-NYA. Bahkan Beliau ikut berjalan kaki dari lokasi rumah duku ke Setra (kuburan) adat.
Diusianya yang saya perkirakan kini sekitar angka 85-an lebih, dua – tiga lalu Beliau ternyata masih mampu setiap pagi pergi ke pasar Badung membeli keperluan sehari-hari, dengan sepeda gayungnya ataupun berjalan kaki. Tergantung keinginannya. Seorang kakek yang tak bisa berdiam diri, itu gambaran Beliau dimata saya.
Kesehariannya, Beliau ditemani sang Istri (nenek saya) yang sudah puluhan tahun mendampingi. Pertengkaran kecil kerap terjadi tapi hanya sebatas kata-kata saja. Yang membuat kami selalu salut pada Beliau adalah sifatnya yang kerap mengalah dan memilih diam. Tidak ingin memperpanjang masalah.
Beberapa bulan kemarin, saya mendapatkan tugas yang Beliau harapkan bisa saya wujudkan sebelum Beliau meninggal. Mencari foto lama (diambil sekitar tahun 1937), yang menampilkan teruna-teruni Banjar Tainsiat saat itu plus sekumpulan anak-anak yang duduk dibagian depan. Beliau masih ingat foto tersebut masih ada arsipnya di balai Banjar kami.
Tugas ini makin ditekankan saat Sekaa Teruna Teruni pada bulan November 2008 lalu melakukan teatrikal Puputan Badung di perempatan jalan Nangka – Patimura yang sempat memajang foto tersebut dalam ukuran yang sangat besar. Bahkan dengan penekanan kata-kata ‘sebelum Pekak mati, foto itu harus sudah jadi’. Duuuhh…
Bersyukur, saya bisa mewujudkan keinginan Pekak dengan baik. Atas bantuan seorang famili, foto tersebut yang telah di-scan ulang, dapat saya cetak dalam ukuran 20R kalo ndak salah. 2 biji. Satu untuk Pekak Titih, satu lagi saya berikan pada Bapak. Karena menurut Pekak Titih, dalam foto tersebut ada juga figur Pekak saya pertalian darah dari pihak Bapak, yang masih kecil dan berjambul.
Menurut sepupu saya dan anaknya Pekak, Beliau senang sekali saya bisa mewujudkan apa yang Beliau pinta, bahkan sempat memamerkannya saat senggang. Syukurlah, batin saya. Pada saat yang sama, Pekak sudah terbaring lemah di ruang ICU RS Wangaya akibat sesak nafas dan Diabetes yang belakangan baru diketahui.
Sejak hari kamis pagi dirawat dan jumat pagi masuk ICU, saya sempat berbicara langsung dengan Beliau, walau tak banyak. Karena prioritas kami memang agar Pekak tak banyak bicara, tak banyak menghabiskan energi untuk menarik nafas. Waktu itu saya hanya berharap yang terbaik bisa diberikan pada kami semua. Sekaligus menitipkan senyum manis dari cicitnya yang lahir terakhir, Putu Mirah Gayatridewi. Putri kecil kami.
Sejak kondisi pekak menurun, kami semua sudah diwanti-wanti agar menyiapkan mental untuk bisa menerima apapun keputusan yang diambil kelak oleh-NYA. Maka, malam usai ujian perkuliahan saya sekaligus menjadi hari kuliah yang terakhir, Pekak menghembuskan nafas terakhirnya pada pukul 03.30 dinihari. Sesuatu yang telah kami sadari sebelumnya.
Kini Pekak sudah meninggalkan kami dengan jalan yang tenang dan damai. Hanya lima hari lima malam Beliau meminta pelayanan terakhir dari kami semasa akhir hidupnya. Dimana kami bisa mempersiapkan mental dan fisik untuk mengantisipasi hal terburuk yang akan kami dapatkan.
Selasa pagi, rumah tua dari keluarga Ibu di banjar Titih diguyur hujan. Tak menyurutkan semangat kami anak dan cucunya untuk menyambut dan memandikannya dengan penuh cinta. Ternyata kami memang sudah siap untuk kemungkinan terburuk ini.
…..masih menunggu kapan akan dilakukannya upacara penghormatan pada Beliau sekaligus perpisahan secara duniawi dengan kami.
Comments
Post a Comment