Waktu sudah menunjukkan pukul 14.17 wita saat kami menginjakkan kaki di pelataran parkiran bandara, sulitnya mencari areal parkir bagi dua kendaraan yang kami bawa lumayan menguras waktu. Sedikit tergesa mata mencari layar monitor yang biasanya ada di seputaran balok kayu langit langit bandara, memeriksa jadwal kedatangan pesawat dari Taipei yang rupanya telah berstatus mendarat.
MiRah dan Prasta tampak sudah tak sabar lagi untuk bersua kedua sepupunya kali ini.
Waktu berlalu setengah jam lamanya tanpa kepastian kedatangan kakak kandung yang delapan tahun sudah terpisah jarak. Nomor ponsel yang sejak tadi berusaha dihubungi hanya menyisakan suara mailbox, dan pesan whatsapp yang sejak jumat kemarin selalu berdenting tak lagi menyajikan notifikasi baru. MiRah dan Prasta makin tak sabar dan mulai bertanya banyak hal.
Dengan membawa empat koper besar plus mengajak serta dua putra mereka tentu bukan urusan mudah, pikirku sejauh ini. Setidaknya semua barang bakalan dibagasikan yang tentu bakalan membutuhkan banyak waktu menunggu pasca pendaratan pesawat. Sedikitnya tiga kali untuk berusaha meyakinkan kembali tampilan layar monitor akan kabar penerbangan yang digunakannya kali ini.
Yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Aditya, yang dulu masih bersosok batita dan sempat mewarnai tawa canda kami awal tahun 2004 berjalan meragu seakan belum yakin dengan kunjungan keduanya ini. Ia tampak lebih kurus dari foto-foto yang pernah dikirimkan oleh orangtuanya. Tak banyak senyum atau tawa lepas yang ia tebarkan layaknya sang adik, Ananta.
Ada rasa haru yang menghampiri saat melihat kakak kandung bersama istrinya bisa sampai dengan selamat tanpa kurang satu apa, jika sudah begini rasanya sudah tak masalah lagi jika saat pulang nanti bakalan bersua kemacetan di sepanjang jalan menuju patung Dewa Ruci. Satu hal yang tadinya sempat kami khawatirkan mengingat pada jam jam seperti ini, lalu lintas biasanya jauh lebih padat daripada siang tadi.
Seperti yang sudah kami perkirakan sebelumnya bahwa bahasa adalah satu satunya kendala yang kelak bakalan menjadi masalah besar untuk bisa berkomunikasi dengan dua ponakanku ini. Lantaran Ananta, ia lahir dan besar di Ottawa Canada, belum pernah pulang ke Bali sejauh ini. Sedang sang kakak, Aditya pernah mampir sebentar dan mengenyam sedikit bahasa ibu yang lantas dilupakan bagaimana cara menyampaikannya. Namun bersyukur ia masih bisa mengerti dengan apa yang kami katakan.
Rasanya sudah tak sabar melihat pengalaman baru yang kelak akan mereka dapatkan nanti. 🙂
Comments
Post a Comment