Sejak pemberlakuan Absensi Sidik Jari Januari lalu praktis waktu yang saya miliki untuk bisa bermain bersama MiRah GayatriDewi, putri kecil kami setiap harinya sangatlah terbatas. Dua hari libur dalam seminggu lantas dengan maksimal kami gunakan untuk menebus Lima Hari kerja yang telah berlalu. Itu baru untuk MiRah, belum yang lain.
Kadang kami merasa bahwa pemberlakuan Absensi Sidik Jari di PemKab Badung, tempat kami berdua bekerja terlalu ketat bahkan tidak adil. Apalagi bagi mereka yang benar-benar bekerja dibandingkan dengan mereka yang hanya menerapkan Pasal 73. Ngantor absen pagi pukul 7, lantas pulang kelayapan entah kemana, lalu absen sore pukul 3. Dan itu, sama sekali tidak ada teguran, hukuman, toleransi ataupun penghargaan.
Pagi, ketika kami bersiap berangkat kerja, ada perasaan bersalah yang saya rasakan pada MiRah, putri kecil kami. Pun pada kedua orang tua yang kami tinggalkan untuk mengajknya bermain seharian. Demikian pula saat kami pulang, hanya sempat beberapa jam untuk bisa bersamanya. Bersyukur bahwa MiRah masih bisa disayang oleh Keluarganya sendiri, lantas bagaimana ketika kedua kakek neneknya sudah tidak mampu lagi ?
Menatapnya saat tidur sungguh merupakan satu periode yang merindukan. Rindu akan tawa candanya yang nyaring dan renyah, Rindu akan kejahilannya yang tak kunjung padam, Rindu akan pijatan tangannya meng-Creambath kepala bak pegawai salon kelas wahid. Rindu pula pada masa kecilnya yang dahulu begitu saya puja.
Anak merupakan segalanya. Setidaknya itu yang kami berdua rasakan hingga saat ini. Saat kami berdua berangkat atau pulang kantor, hampir sepanjang perjalanan, jika topik kami bukan soal pekerjaan kantor, bisa dipastikan topik lainnya adalah MiRah dan kelakuannya. Dari kenakalannya yang membuat kami gemas, ocehannya yang kadang membuat kami kewalahan, hingga rencana-rencana kami kedepan untuk masa sekolahnya.
Moo, panggilan kesayangannya pada boneka Piglet yang saya belikan sepulang kuliah dahulu, kini hanya bisa tergeletak sendirian tanpa teman. Biasanya Moo selalu menemani hari-harinya kemanapun ia pergi. Namun sejak MiRah terjangkit batuk tanpa henti, Moo berusaha kami jauhkan dari MiRah. Mungkin, jika Moo bisa bicara, iapun akan merasakan hal yang sama.
MiRah, MiRah dan MiRah. Kecintaan kami pada buah hati yang lucu ini kerap menjadi buah bibir rekan kerja maupun teman yang dijumpai. Begitu bersua, mereka selalu menanyakan, ‘Bagaimana kabarnya MiRah ? kok gag diajak ?’. namanya begitu familiar mereka kenal, satu hal yang barangkali jarang terjadi. Mengingat nama putri kecil kami.
Entah mengapa hari ini saya begitu melankolis padanya. I MISS U MIRAH…
Comments
Post a Comment