Kadang saya merasa menyesal ketika satu ketika secara tak sadar menghardik MiRah, apalagi melihat ia langsung terdiam dan menangis mencari ibunya. Itu saya lakukan saat MiRah mulai terlihat tak terkontrol memarahi neneknya tanpa satu alasan yang jelas. Jujur saja, saya merasa begitu lantaran termasuk jarang melakukannya, separah apapun kondisinya. Mungkin karena MiRah merupakan putri yang kami dambakan selama dua tahun awal perkawinan.
Belakangan ia kerap meminta satu hal dengan suara dan nada yang keras. Jikapun tidak dengan segera dituruti, kami akan mendapatkan bentakan yang tidak kalah kerasnya. Kalo itu ditujukan pada saya pribadi sih gag terlalu masalah, karena seketika itu juga ia bisa saya tenangkan. Tapi tidak segampang itu kalo yang diperlakukan begitu adalah Neneknya. Kadang jika si nenek sudah kadung mangkel, MiRah suka balik dimarah, dan bisa ditebak bagaimana kelanjutannya.
Melihat situasinya yang tidak kondusif dari hari ke hari :p , saya bersama Istri tidak tinggal diam. Kami secara bergantian memberikan nasehat dan pesan secara hati-hati dan intensif pada MiRah ketika suasana hatinya sedang senang. Biasanya kami berikan pula contoh ‘penyelewengan perilaku yang kerap ia lakukan pada beberapa tokoh kartun atau dongeng yang ia kenal. Dari ‘bawang putih’ yang penurut atau ‘bawang merah’ yang diusir akibat kelakuannya, hingga perumpamaan ‘ibu guru di sekolah.
Di usianya yang menjelang tiga tahun, MiRah tumbuh demikian pesat. Tubuhnya meninggi, makin lama makin mirip Bapaknya, sedang kecantikannya malah mirip ibunya saat kecil. Saya jadi khawatir sendiri. Bukan apa-apa, hanya karena khawatir MiRah akan mengalami kesulitan yang sama seperti yang saya alami saat usia pertumbuhan. Sulit mencari ukuran yang pas di tubuh terutama kaki. Memang sih, jaman sudah maju sedemikian jauh, namun tetap saja saya merasa khawatir.
Sejauh ini MiRah mau-mau saja dekat dengan Bapaknya, walaupun ia cenderung lebih dekat pada Nenek dan ibunya. Beberapa kali MiRah saya ajak jalan berdua, baik berkendara roda dua ataupun roda empat, ia anteng-anteng saja kok. Sepanjang perjalanan ia biasanya bersenandung lagu anak, atau sekedar bertanya tentang apa yang ia lihat. Tidak jarang obrolannya ngelantur kemana-mana, membuat suasana makin heboh, penuh tawa dan canda kami.
Sayangnya MiRah tak punya teman bermain dirumah, padahal ada banyak anak yang seusianya disekitar kami. Kondisi lingkungan yang sudah kadung ‘bermusuhan dan iri hati hanya karena hal-hal kecil, tipikal masalah yang berlarut-larut dalam sebuah keluarga besar, membuat para orang tua mereka mendidik anaknya untuk tidak bertegur sapa dengan MiRah. Hal yang jujur saja dahulu pernah pula saya alami sejak kecil dan tetap berlangsung hingga kini.
Itu sebabnya MiRah lebih kerap saya ajak bermain di luar rumah. Arena mainan Tiara Dewata, lapangan Puputan, mini market di jalan Pulau Saelus, Mc Donalds atau Taman Kanak-Kanak terdekat yang memiliki fasilitas Playground menjadi daftar kunjungan wajib kami setiap minggunya. Dengan harapan, ia dapat berinteraksi dengan dunia luar yang mampu memberikan aura positif lebih jauh ketimbang aura negatif yang ada di rumah.
Bisa jadi ini pula yang menjadikan tumbuh kembang MiRah gampang marah ketika satu permintaannya tak dituruti dengan segera. Apa boleh buat ?
Comments
Post a Comment