Jauh ketika saya menjatuhkan pilihan untuk menikah, kedua orang tua sudah mewanti-wanti bahwasanya untuk kedepan selain tetap harus berbakti kepada orang tua kandung, saya mutlak memiliki kewajiban untuk melakukan hal yang sama kepada kedua orang tua calon istri. Hal ini selalu berusaha saya pahami dan camkan betul hingga kini.
Menjadi menantu yang baik bagi Mertua sesungguhnya bukanlah satu hal yang mudah. Tidak cukup hanya dengan menjaga dan memperlakukan istri (sebagai putri mereka) atau anak (sebagai cucu mereka pula) dengan baik, namun ditinjau pula dari aspek perilaku, kesopanan bahasa dan masih banyak lagi. Terkadang untuk mampu mewujudkan cita-cita tersebut, diperlukan tekad untuk mempertaruhkan kemampuan atau keahlian yang dikuasai.
Jalan panjang menuju dunia Arsitektur sebenarnya sudah lama saya tinggalkan, tepatnya pada tahun 2004 lalu, tahun dimana saya mulai ditempatkan sebagai Pegawai Negeri Sipil pada instansi Dinas Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Badung yang notabene memiliki kisaran pekerjaan dunia Teknik Sipil. Namun embel-embel gelar dan keahlian sebagai Sarjana Arsitektur tetap saja harus disandang. Atas dasar itulah Mertua lalu mempercayakan renovasi rumah mereka pada menantunya ini.
Tahun 2005 merupakan awal mula pertaruhan saya untuk menjadi seorang Menantu yang baik. Mendesain ulang ‘Bale Daja’, yang selama ini digunakan sebagai tempat tidur untuk Istri pada masa lajangnya ditambah kedua Mertua, kamar ganti beserta kamar suci. Gambar desain yang (jujur saja) apa adanya itu ternyata mampu dipahami oleh famili Mertua yang bertindak selaku pengeksekusi bangunan dari dipugar hingga selesai.
Ada satu kepercayaan yang kami yakini sejak kuliah dulu, bahwa desain yang dihasilkan akan bergantung pada proporsi tubuh sang desainernya. Maka jadilah bale daja yang dahulunya tampak merunduk kini berubah drastis menjulang tinggi dan (syukurnya) tampak megah. ‘Tidak percuma punya menantu Arsitek’ kata orang yang menyaksikan bangunan tersebut. Satu beban yang kemudian harus saya panggul sepanjang masa…
Berselang 4 (empat) tahun kemudian, giliran Bale Dauh yang dahulunya digunakan sebagai kamar tidur putra pertama, dan dua keponakan plus dapur dipintakan perubahan desain dan konstruksi. Bersyukur dalam perjalanannya saya mendapatkan bantuan ide dan pemecahan solusi dari seorang rekan yang dahulu (sebelum mengambil kuliah Pasca Sarjana) merupakan tandem saya dalam mengambil pekerjaan diluar jam kantor. Berpadunya dua kepala yang dipenuhi keinginan yang berbeda membuat desain bangunan agak nyeleneh dengan yang dibayangkan oleh Mertua.
Sempat terjadi beberapa kali perubahan desain lantaran terbentur pada budget dan juga waktu pengerjaan, sehingga sampai hari ini proses Renovasi bangunan masih terus berjalan.
Pertaruhan reputasi sebagai Menantu saya kira gak bakalan berhenti sampai disini. Apalagi kalo bukan karena kunjungan mendadak dari beberapa famili lain kerumah Mertua yang kemudian meminta saya melakukan hal yang sama, review desain dan konstruksi untuk rumah mereka. Waaaahhh… Gawat !!!
Comments
Post a Comment