Sempat terdiam ketika membaca rincian kekayaan Gayus Tambunan seorang Pegawai Negeri Sipil berusia 30-an tahun yang ditangkap lantaran terlibat dalam kasus Mafia Pajak disebuah media cetak nasional. Bagaimana tidak ? untuk seorang abdi negara yang baru saja terjun (kalo tidak salah tahun 2000-an awal), Gayus sudah mendapatkan gaji sekitar 12 juta perbulannya dengan golongan III/a pula. Yang makin mencengangkan adalah jumlah kekayaannya yang mencapai angka 25 Milyar salah satunya berupa rumah mewah seharga 3 Milyar. Saya benar-benar takjub.
Meski demikian masih sempat tersenyum getir ketika teringat pada sebuah tembang lama milik Iwan Fals, idola saya sejak kecil, yang mengisahkan tentang seorang Pegawai Negeri Sipil yang idealis, dengan bentuk kesederhanaan tunggangan sepeda kumbangnya, mengajar siswa hingga memiliki kepintaran bak seorang Habiebie, Oemar Bakrie. Pahlawan Tanpa Tanda Jasa mendapatkan gaji yang dikebiri. Entah bagaimana kini.
Bagaimana pun juga saya pribadi tak beda dengan dua sosok diatas, sama-sama seorang Pegawai Negeri Sipil, seorang abdi negara yang (seharusnya) mampu dengan cepat dan tangkas melayani kebutuhan masyarakat. Sayangnya diusia yang kini sudah menginjak 32 tahun, jangankan membeli rumah secara tunai, untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pasca sarjana saja saya musti berhutang pada sebuah Bank daerah yang masih harus dilunasi cicilannya selama 2 (dua) tahun kedepan. Jujur saja, sempat pula saya berandai-andai jika diberi ‘keberuntungan’ macam Gayus Tambunan oleh Yang Maha Kuasa.
Menjadi seorang Gayus Tambunan yang bergelimang harta bagi seorang Pegawai Negeri Sipil sesungguhnya bisa dikatakan gampang, itu berlaku bagi mereka yang pintar melihat ‘peluang’. Entah peluang untuk nyambi kerjaan diluar profesi atau peluang untuk bersekongkol menimbun harta kepentingan pribadi… dan bahwa apa yang diperbuat oleh Gayus adalah wajar, mencerminkan keberadaan oknum di negeri ini yang berusaha mendapatkan status Pegawai Negeri Sipil dengan mengorbankan sejumlah uang sehingga wajib untuk mencari usaha pengembalian dananya.
Menjadi seorang Oemar Bakrie yang tidak gampang, diperlukan nurani yang sekeras baja ketika menghadapi godaan atau diperlukan perasaan yang kukuh bagai batu padas ketika berhadapan dengan masalah, entah masalah dengan atasan (yang tidak sejalan) atau masalah dengan lingkungan. Potret seorang Oemar Bakrie ini bisa dikatakan sudah sangat jarang ada di negeri ini. Tidak juga dengan saya yang pada akhirnya lebih memilih berada ditengah-tengah.
Kenapa ditengah-tengah ?
Karena untuk menjadi seorang Oemar Bakrie yang idealis di lingkungan abdi negara sangatlah sulit, bisa jadi idealisme itu ketika bebenturan dengan satu dua kepentingan yang lebih tinggi secara otomatis tenggelam dan cenderung menyia-nyiakan semua usaha yang telah dirintis sedari bawah. Demikian pula untuk menjadi seorang Gayus Tambunan dibutuhkan ‘keberanian’ untuk bermuka dua, menjilat atasan dan sekaligus tampak tak bersalah dihadapan publik tanpa mengubah kecepatan denyut jantung. Stay cool…
Jujur saja, saya pernah untuk mencoba sekali-kali menjadi seorang Gayus Tambunan, dalam skala kecil dan terhadap seorang rekan kerja. Hasilnya sangat tidak mengenakkan, ketika saya berusaha untuk membohongi hati nurani, denyut jantung mulai berdetak lebih cepat dari biasanya (karena khawatir ketahuan) dan ada perasaan tidak nyaman ketika bersua rekan kerja tersebut.
Demikian pula ketika saya mencoba untuk menjadi seorang Oemar Bakrie, seperti berhadapan dengan tembok yang tinggi tanpa ada yang memberikan saran atau pembelaan lantaran satu dua kepentingan yang tidak dapat dibantah, pada akhirnya semua itu terlewatkan begitu saja. Kecewa ? jelas.
Langkah untuk tetap berada ditengah-tengah atau istilah ‘ikut arus namun tetap menjaga jarak’ tampaknya lebih suka saya ambil untuk mengambil sebuah keputusan saat ini. Karena bagaimanapun juga berada ditengah-tengah cukup membuat saya nyaman untuk berpikir, bekerja dan bertindak jika satu saat terjadi hal-hal diluar dugaan.
Tidak menjadi seorang Gayus Tambunan yang sudah bergelimang harta di-usia muda, Tidak juga menjadi seorang Oemar Bakrie yang idealis.
Bagaimana dengan Anda ?
Comments
Post a Comment