‘Atu butanlah cupelmen… Atu duda bica nanis… dita tetasih hatitu… pelgi menindalkan atu…’
Nyanyian cadel itu keluar dari bibir mungil seorang anak yang baru berusia dua setengah tahun. Bagi sebagian orang tentu saja terlihat sangat menggemaskan, apalagi usia segitu si anak tergolong baru saja bisa merangkai kata menjadi kalimat. Bagi sebagian lainnya bisa jadi memiliki perasaan miris dan kasihan. Anak seumuran itu sudah menyanyikan lagu yang belum ia mengerti. Kekasih hati ?
Dua batita (bayi tiga tahun) begitu tersepona eh terpesona menonton tayangan televisi yang menayangkan adegan sepasang kekasih penuh romantika dibarengi dengan pertengkaran pasangan lainnya akibat hal sepele. Bagi sebagian orang pemandangan ingin dijamin bakalan mengundang senyum, sebagian lainnya malah miris ketika salah satu batita tersebut berlagak memarahi batita lain mirip adegan di layar. Bukan tidak mungkin perilaku tersebut diulang lagi esok lusa.
Tidak salah memang jika melihat kondisi batita pada kedua ilustrasi diatas, wong hare gene sangat sulit menemukan tayangan yang pas untuk anak seusia mereka. Layar televisi sudah dipenuhi oleh tayangan cinta remaja, reality show ataupun tembang terkini. Kalaupun ada yang diporsikan untuk anak-anak, masih bisa dihitung jari yang beneran mampu memberikan pendidikan dengan baik, selebihnya masih berupa adegan pukul-pukulan, kendati ada petuah didalamnya. Namun apakah anak seusia mereka bisa mengerti petuahnya ? Hehehe…
Saya pribadi kadang merindukan lagu anak-anak kembali digaungkan tidak hanya didapat pada sekolah Taman kanak-kanak ataupun playgroup saja, tapi juga dilayar televisi. Padahal jika kita mau melihat kemasa lalu, sangat banyak pilihan lagu anak yang ada, meski sederhana namun isinya sangat pas jika dinyanyikan dan didendangkan oleh anak-anak. Katakanlah ‘Balonku’, ‘Satu satu’ atau yang bermakna lebih ada ‘Kasih Ibu’ atau ‘Bangun Tidur’.
Masih lekat diingatan berlombanya anak-anak tampil dilayar televisi sekitar tahun 90an lalu, menyanyikan lagu yang mendidik seperti Suzan dan Ria Enes, Joshua, Enno Lerian hingga berkembang menjadi tema ‘ala kadarnya’. Tak lama kemudian dibabat habis seketika oleh dua artis cilik yang membawakan lagu anak dengan aransemen serius sekelas orkestra. Sherina dan Tasya. Barangkali itulah akhir kejayaan lagu anak-anak berganti dengan tembang remaja.
Keseriusan dalam menggarap lagu yang dinyanyikan oleh dua artis cilik tadi, membuat karya tersebut tak lekang oleh waktu, masih pantas didengarkan hingga kini. Bersyukur di YouTube ada yang berkenan berbagi sehingga putri kami MiRah GayatriDewi bisa menikmati karya apik tersebut melalui layar televisi (setelah diolah menjadi vcd) dan belum diracuni oleh lagu cinta anak-anak masa kini.
Ayo, selamatkan batita kita dari Cinta Remaja.
Comments
Post a Comment