Satu bulan terakhir media cetak maupun televisi tak ketinggalan dunia maya dipenuhi cerita heroik perlawanan cicak melawan buaya, satu perumpamaan yang dicetuskan oleh seorang petinggi negeri ini ketika merasa posisinya tersudutkan (atas dasar tindakan penyadapan telepon si buaya) oleh anak didiknya sendiri dalam hal ini adalah si cicak. Saya pribadi memang tidak terlalu mengikuti alur cerita yang dilakoni hingga lembaga dimana si petinggi yang mengatakan diri mereka adalah buaya telah menetapkan orang-orang yang berada di pihak cicak sebagai tersangka atas tindakannya yang menyalahi wewenang. Hmm… saya kok sepertinya mencium satu ketidakberesan dari keputusan itu…
Sebagai seorang oknum Pegawai Negeri Sipil yang kerap dicurigai oleh masyarakat sekitar, jangankan melongok pada lembaga sekelas dan sebesar itu… di kelas saya sebagai staf saja perseteruan dan konflik seperti diatas kerap terjadi kok. Yah, tulisan saya kali ini cukup sebagai perumpamaan sajalah.
Dalam skala besar, cicak dan buaya adalah dua pihak yang memiliki kewenangan berbeda berupaya saling mengontrol namun satu tujuan berada dalam satu payung negara. Dalam skala kecil bisa saya gambarkan bahwa ada dua peran yang berbeda pula dalam melakukan pemeriksaan hasil kemajuan pekerjaan fisik pada satu payung dinas atau instansi, berdasarkan kebijakan terakhir. Satunya bernama Tim Penilai atau Pengendali, satunya lagi Direksi teknis selaku pengawas Kegiatan secara langsung.
Konflik antara dua peran tersebut seharusnya tidak terjadi berhubung masih berada dalam satu payung kedinasan dan memiliki tujuan yang sama yaitu menghasilkan pekerjaan fisik yang berkualitas. Sayangnya tidak semua oknum yang terlibat didalamnya memiliki visi dan misi yang sama untuk mewujudkan tujuan yang saya katakan tadi.
Katakanlah jika oknum tersebut berada di pihak Tim Penilai atau Pengendali, merasa dirinya memiliki wewenang dalam mengambil keputusan apakah kemajuan satu pekerjaan fisik bisa diterima atau tidak untuk ditindaklanjuti ketahap pembayaran, si oknum lantas memanfaatkan atau menyalahgunakan wewenang yang ia miliki untuk meminta sejumlah materi kepada Rekanan jika tidak ingin dihambat.
Berangkat dari tudingan diatas yang kerap diarahkan pada seluruh anggota Tim Penilai atau Pengendali, saya sebagai salah satunya merasa tidak keberatan apabila telepon yang kami gunakan disadap oleh lembaga lain (dan baru belakangan diketahui) untuk membuktikan apakah tudingan tersebut benar atau tidak. Mengapa ? Jika saya merasa bahwa saya memang tidak pernah melakukan satu hal yang menyimpang dari wewenang, mengapa harus takut dan marah ? Justru momen seperti ini akan saya gunakan untuk membuktikan apakah saya merupakan salah satu oknum yang menyalahgunakan wewenang yang diberikan atau tidak.
Sayangnya ya lagi-lagi gak semua oknum memiliki pemikiran yang sama, ada juga yang marah-marah dan balik menuding yang bukan-bukan kearah pihak lain hanya untuk sekedar mengatakan kepada publik ‘saya ini bersih loh…
Tinggallah kini publik yang kebingungan… bagaimana mungkin negeri ini akan terbebas dari korupsi jika para petingginya (yang berwenang untuk itu) masih saling menjatuhkan satu sama lain dan melepas ‘tersangka’ yang sebenarnya…
Comments
Post a Comment