Tergelitik menonton tayangan layar televisi yang menampilkan seremonial pelantikan para anggota dewan kita yang terhormat, sangat jauh dari apa yang negeri ini miliki. Pada saat pengambilan sumpah tersebut jelas-jelas mereka diharapkan tetap berpegang teguh pada undang-undang yang berlaku dan tetap menyuarakan aspirasi rakyat yang mereka wakili namun kenyataannya tak seindah impian…
Belum lagi lima tahun berlalu, belum lagi usai masa jabatan mereka, hari ini sudah bisa kita lihat bagaimana perilaku sesungguhnya. Saat bencana menerpa Situ Gintung begitu banyak para wakil rakyat melalui parpol mereka dengan sigap mendirikan tenda bantuan, berkoar menyampaikan sumbangan dan lain sebagainya… Kini ketika gempa melanda negeri ini kembali atau banjir diberbagai daerah, tak satupun dari mereka yang mau menampakkan hidungnya. Apa sebab ? karena kini mereka sudah ‘jadi’ tidak lagi berstatus dicalonkan lagi…
Sungguh kasihan nasibmu kawan… Jika dahulu tragedi Situ Gintung orang berlomba menengok, menjalankan misi kemanusiaan dan berlomba menjadi yang pertama, kini ketika tragedi kembali hadir tak seorangpun mau membantu…
Saya jadi teringat pada masa lalu, masa dimana salah seorang warga kami begitu berambisi untuk menjadi seorang anggota dewan. Dari baju kaos, stiker hingga spanduk bertuliskan inisial namanya disebarluaskan begitu mencolok. Ketika dilingkungan kami mengadakan satu acara yang melibatkan warga secara masal, si rekan dengan pongahnya berkoar mengatakan jika ia telah menyumbangkan sekian ratus nasi bungkus agar warga tak kelaparan saat acara berlangsung hingga selesai. Kata-kata itu terus terdengar ditelinga kami hingga acara selesai. Haruskan sedemikian seriusnya ?
Tingkah laku sebaliknya si rekan lakukan ketika ia tak masuk dalam daftar jadi ‘bakal calon salah satu parpol. Ia tak lagi loyal, ia tak lagi berkoar, bahkan cenderung mengibarkan bendera putih pertanda golput untuk mengungkapkan rasa kekecewaannya. Hilang sudah segala image yang ia ciptakan jauh sebelumnya…
Andaikan saja masyarakat kita beneran pintar, tidak hanya senang dan tertawa-tawa ketika dianggap sudah pintar oleh para politisi dan petinggi, mungkin ini semua bisa menjadi pembelajaran untuk lima tahun yang akan datang, haruskan kita memilih mereka lagi ? atau karena sudah tidak ada pilihan lain lagi ?
Comments
Post a Comment