Skip to main content

Apa Kabar Taman Festival Bali ?

Mencoba berinvestasi di Bali dengan membangun satu tempat atau sarana rekreasi sekaligus hiburan rakyat boleh dikatakan sangat beresiko. Apalagi dengan biaya atau tiket masuk yang sangat mahal, tak terjangkau oleh kantong sebagian masyarakat Bali.

Satu contoh sederhana, Taman Festival Bali yang berada pada ujung jalan menuju Pantai Padanggalak.

Saya masih ingat, pertama sekaligus terakhir kali saya memasuki areal Taman Festival Bali ini, sekitar tahun 1997/1998 silam. Dua belas tahun yang lalu. Bersama seorang rekan, Putra Wiarsa, ikut berpartisipasi dalam kegiatan organisasi kampus, kepanitiaan Lomba Menggambar bagi anak-anak kalo ndak salah. Diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Arsitektur yang saat itu masih dipegang oleh angkatan 1994.

Kondisinya sangat megah memang. Katakanlah untuk ukuran saya. Anak kuliah yang blom pernah jalan-jalan keluar daerah sekelas Jakarta. Hehehe…. Ada permainan simulasi yang menegangkan, gunung yang meletus secara berkala, hamparan kolam nan indah, taman reptil hingga tempat makan dengan harga wah… gak terjangkau oleh kantong saya tentu saja.

Sesaat setelah melis atau mekiyis tanggal 23 Maret pagi hari kemarin, sebelum pulang, saya nekat meloncati pagar Taman Festival Bali bersama beberapa orang remaja. Dengan satu alasan yang sama, melihat Taman Reptil yang kabarnya masih menyisakan buaya-buayanya dalam penangkaran.

Dari luar, Taman Festival Bali yang dahulunya megah dan Wah, kini teronggok tak terurus. Pohon dan belukar, tembok lumut, sampah berserakan, cukup membuat saya merinding melewati satu persatu area yang ada didalamnya. Mengingatkan saya pada film besutan Steven Spielberg, Taman ‘Jurassic Park’.

Memandangi danau buatan dan merasakan aura aneh, membuat saya tak ingin berlama-lama untuk berada pada satu area tertentu. Apalagi kini saya sendiri, ditinggal rombongan remaja tadi….

Berjalan menuju Taman Reptil, mata memandang sekeliling dengan waspada. Jangan-jangan ada buaya yang terlepas atau binatang reptil yang menyergap. Wah, kebanyakan nonton film nih….

Akhirnya tercapai juga keinginan saya melihat penangkaran Buaya yang ada di Taman Reptil, tak terurus memang. Setelah mengambil beberapa gambar disekitarnya termasuk buaya yang dijahili oleh para remaja tadi, pikiran saya melayang tak karuan.

Bagaimana kira-kira seandainya Buaya itu lepas seperti yang terjadi diluar daerah akibat banjir kini ya ?

Bagaimana dengan semua aset dan desain berharga Taman Festival Bali ini kedepannya ya ?

Bagaimana pula caranya agar kelak, Taman Festival Bali ini bisa disulap kembali menjadi sarana Rekreasi bagi keluarga, dengan harga tiket masuk yang terjangkau, apa mungkin ?

Ah, kebanyakan mengkhayal, tak baik rasanya. Apalagi kalo berada ditengah areal yang tak terurus lagi….

Mendingan saya pulang saja….

Comments

Popular posts from this blog

Jodoh di Urutan ke-3 Tanda Pesawat IG

Kata Orangtua Jaman Now, Jodoh kita itu adanya di urutan ke-3 tanda pesawat akun IG.  Masalahnya adalah, yang berada di urutan ke-3 itu bapak-bapak ganteng brewokan berambut gondrong.  Lalu saya harus gimana ?  #jodohurutanketigadipesawat  Mestinya kan di urutan SATU ?

Mewujudkan Agenda Cuti Bersama Lebaran

Tampaknya di Hari terakhir Cuti Bersama Lebaran, sebagian besar rencana yang ingin dilakukan sejak awal liburan sudah bisa terwujud, meski masih ada beberapa agenda lainnya yang belum bisa dijalani.  Satu hal yang patut disyukuri, setidaknya waktu luang jadi bisa dimanfaatkan dengan baik untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan tertunda beberapa waktu lalu.  1. Migrasi Blog Aksi pulang kampung ke laman BlogSpot tampaknya sudah bisa dilakukan meski dengan banyak catatan minus didalamnya. Namun setidaknya, harapan untuk tidak lagi merepotkan banyak orang, kedepannya bisa dicapai. Sekarang tinggal diUpdate dengan postingan tulisan tentang banyak hal saja.  2. Upload Data Simpeg Melakukan pengiriman berkas pegawai ke sistem online milik BKD rasanya sudah berulang kali dilakukan sejauh ini. Termasuk Simpeg Badung kali ini, yang infonya dilakukan pengulangan pengiriman berkas dengan menyamakan nomenklatur penamaan file. Gak repot sih sebenarnya. Tapi lumayan banyak yang harus dilengkapi lagi. 

Warna Cerah untuk Hidup yang Lebih Indah

Seingat saya dari era remaja kenal baju kaos sampai nganten, isi lemari sekitar 90an persen dipenuhi warna hitam. Apalagi pas jadi Anak Teknik, baju selem sudah jadi keharusan.  Tapi begitu beranjak dewasa -katanya sih masa pra lansia, sudah mulai membuka diri pada warna-warna cerah pada baju atasan, baik model kaos oblong, model berkerah atau kemeja.  Warna paling parah yang dimiliki sejauh ini, antara Peach -mirip pink tapi ada campuran oranye, atau kuning. Warna yang dulu gak bakalan pernah masuk ke lemari baju. Sementara warna merah, lebih banyak digunakan saat mengenal ke-Pandean, nyaruang antara warna parpol atau merahnya Kabupaten Badung.  Selain itu masih ada warna hijau tosca yang belakangan lagi ngetrend, merah marun atau biru navy. Semua warna dicobain, mengingat hidup rasanya terlalu sederhana untuk dipakein baju hitaaaaam melulu.  Harapannya bisa memberikan warna pada hidup yang jauh lebih cerah, secerah senyum istri pas lagi selfie.