Hujan yang turun tak menentu, menjadi harap bagi kami agar tak sampai terjadi saat upacara NgeRingkes digelar.
Ya, hari kamis kemarin tepat pukul tiga sore, segenap keluarga besar hadir dan sudah bersiap untuk satu upacara NgeRingkes, yaitu upacara memandikan jenasah Pekak, yang ditangani oleh krama Banjar Titih, disaksikan oleh kerabat sanak saudara dari jauh.
Tak banyak yang bisa saya lakukan selain berusaha mengabadikan momen ini dalam sebuah gambar diam kamera digital jadul, yang tak mampu menangkap suara sedikitpun jika saya memaksa untuk mengambil gambar bergerak dengan kamera yang sama. Seperti biasa, selain kamera jadul yang masih bagus digunakan hingga hari ini, untuk menangkap gambar bergerak, saya mengalihkannya pada Nokia cdma 6275i, dengan modal nekat lantaran tahu seberapa hasil pergerakan yang mampu dihasilkan oleh ponsel ini.
Eh, ternyata seorang sepupu membawa serta kamera Casio baru gres miliknya, yang lantas saya pinta menggantikan ponsel saya untuk merekam khusus pada gambar bergeraknya.
Ini memang inisiatif saya sendiri, apabila salah satu kerabat mengalami duka. Bukan apa-apa sih, hanya untuk sekedar yang bisa saya berikan pada almarhum. Karena biasanya pihak keluarga seakan melupakan kegiatan pengabadian momen paling berharga ini. Pikirannya malah lebih terfokus pada kegiatan utama, seperti halnya yang dilakukan oleh anak-anak Pekak.
Upacara NgeRingkes ini berlangsung cepat, secepat Pekak kalo mengambil pekerjaan rumah. Ya, kata orang sih, biasanya jalannya suatu upacara pengabenan merupakan cerminan sifat si almarhum. Silahkan dipercaya atau tidak.
Saya takkan bicara panjang lebar perihal jalannya Upacara hingga makna yang terkandung didalamnya. Yang pasti saat Jenasah Pekak dimandikan kembali oleh seluruh anak cucunya, tubuh Pekak terlihat putih bersih. Sebersih hati dan perjuangannya akan sebuah kehidupan….. Sungguh, Pekak terlihat seperti hanya memejamkan matanya dan tidur ditengah-tengah kami. Ketampanan Beliau masih terlihat di hari terakhirnya ini. Yang sayangnya tak menurun pada saya. He….
Beberapa saat usai upacara, para cucu Pekak berinisiatif mengumpulkan uang masing-masing dua puluh ribu rupiah, yang sedianya bakalan dibuatkan satu karangan bunga hasil karya para desainer muda para cucunya ini. Pengumpulan uang ini sempat bikin heboh, karena baru saja beberapa diantara kami menangis saat pemandian jenasah Pekak. Eh, saat kami semua berkumpul, yang namanya tawa canda akhirnya meledak jua.
Saat beberapa kerabat hendak pamit dari rumah Pekak, kami berempat ‘Gerombolan si Berat’ (meminjam istilah sindikat penjahat lucu di serial Donal Bebek), langsung meluncur ke Setra (Kuburan) Badung, untuk membakar sarana yang dipakai saat upacara tadi. Dari pakaian Pekak sebelum dimandikan kembali, hingga sarana upacaranya. Keempat ‘Gerombolan si Berat’ ini adalah Ade Jenggo selaku PimPro kegiatan ini, memimpin ketiga adiknya, Mank Chiko, Donny dan juga saya selaku tukang foto keliling, yang sebaya seusia dan seberajat tinggi juga besarnya…..
Yakin semua pakaian, kain kemben dan juga kasa putih terbakar hancur, kami kembali ke rumah Pekak untuk berkumpul kembali sebelum akhirnya satu persatu berpamitan lantaran saking capeknya….
fiyuuuhhh….
Comments
Post a Comment