Skip to main content

the PoWer of ‘KarTu Nama’

‘Silahkan diambil kartu namanya, Pak…’

Ujar petugas fotocopy di daerah timur kota Denpasar kepada saya seraya memperlihatkan setumpuk kecil kartu nama dengan ikatan gelang karet. Ada rasa penasaran ‘emang ini siapa sih Pak ?’ tanya saya…

‘Katanya sih orang ini (pemilik kartu nama) Calon Anggota DPD Dapil Bali.’

‘Trus, kok bisa fotocopy ini yang mengedarkannya ?’

‘Yah, tempo hari ada orang yang menitipkannya disini, meminta untuk diberikan pada setiap orang yang fotocopy kesini.’

Oooohhh….. I See…. Ngerti dah saya sekarang. Jadi ceritanya si Tokoh pemilik kartu nama menitipkan pada tim suksesnya untuk menyebarkan kartu namanya pada masyarakat, tapi malah dititipkan kepada petugas fotocopy untuk diberikan pada setiap orang yang mampir kesitu. Hmmm… Mirip dengan cara pengedaran lembaran promosi pengobatan pake ilmu-ilmu itu di persimpangan jalan.

Saya jadi nyengir sendiri dan berandai-andai.

Sebenarnya orang ini siapa sih ? Katanya mencalonkan diri menjadi anggota DPD Dapil Bali. Nomor urut 1 lagi. Tapi kok cara penyebaran informasi akan citra dirinya dilakukan dengan cara ngawur ? Apa untungnya coba, bagi saya selaku pemilih nantinya ?

Orangnya belum tentu saya ketahui, siapa, apa dan bagaimana latar belakang, visi misi, kredibilitasnya dan apa yang telah ia lakukan minimal untuk kota Denpasar ini, dsb. Orang tersebut juga gak bakalan tahu bahkan barangkali takkan mau tahu, apa keluhan saya, inspirasi saya atau keluh kesah saya. Wong caranya ‘memohon doa restu’ aja begitu kok. Menitipkan pangkat dua.

Padahal kalo seandainya saya dalam posisi ‘BeLiau’ itu, barangkali langkah yang saya ambil selain khayalan saya tempo hari perihal persiapan sebelum memutuskan untuk jadi CaLeg, tentu saja untuk mengantisipasi gamangnya calon pemilih akan figur saya misalnya, harus ada satu terobosan yang mampu menggetarkan hati para pmilih.

Khayalan saya misalkan saja dalam setiap kartu nama yang saya edarkan disertakan form kosong dibaliknya untuk mengetahui keluh kesah, aspirasi ataupun keinginan masyarakat selaku pemilih, sekaligus mencantumkan identitas si pemilih.

Kartu itu nantinya bisa dikirimkan kembali via Pos tanpa perangko misalnya. Tentu saja saya terlebih dahulu akan bekerja sama dengan pihak Pos, untuk mengantarkan kartu-kartu yang terkumpul, setelah hasil pemilu kelak diumumkan.

Tujuannya agar saat saya positif terpilih, minimal saya mengetahui siapa saja yang mendukung saya dan inspirasi apa saja yang harus dipanggul menuju Senayan. Hehehe…. Jadi gak kepupungan lagi, menyerap aspirasi rakyat dengan menghabiskan uang rakyat kelak. Yah namanya juga khayalan…

Ngomongin power of ‘Kartu Nama’, saya jadi teringat waktu jelang akhir millenium lalu, diberikan sebuah kartu nama oleh seorang keluarga yang memiliki sebuah museum seni di daerah Ubud Gianyar, sambil mengatakan bahwa kartu nama tersebut bisa digunakan sewaktu-waktu jika saya ingin berkunjung ke Museum tanpa konfirmasi dan birokrasi yang berbelit.

Berselang dua tiga tahun setelahnya, saya secara kebetulan mendapatkan pekerjaan sebagai Arsitek Freelance di daerah Ubud. Saya teringat dengan kartu nama tersebut dan berkeinginan untuk mencoba memastikan apakah yang dikatakan oleh Bapak itu benar atau tidak. Maka saya memperlihatkan Kartu Nama BeLiau kepada pihak Security di depan Museum Seni yang dimaksud sambil mengatakan saya ingin melihat-lihat disekitar Museum.

Tanpa banyak pertanyaan, saya dipersilahkan masuk sambil diberitahu bahwa sang pemilik sedang tidak berada ditempat.

Barangkali benar apa kata seorang Kolektor kartu (kartu nama, kartu undangan dsb) yang pernah dimuat di Intisari jaman dulu, bahwa Kartu Nama sebetulnya punya kekuatan yang sama dengan ijin atau restu si pemilik, atas segala fasilitas yang disediakan atau diberikan kepada penerima kartu nama.

Nah, kalo keadaannya bahwa kartu nama punya wewenang sedashyat itu, lantas bagaimana dengan kartu nama para CaLeg dan Calon DPD yang kini banyak beredar dimasyarakat ? Apakah itu bisa menjadi satu jaminan pada masyarakat yang kelak memilihnya akan semua janji yang mereka ucapkan ?

Atau barangkali hanya untuk memperkenalkan diri, tanpa mau tahu apa yang diinginkan oleh para pemilih, sehingga jalan yang diambil untuk menyebarkan kartu nama tersebut dilakukan dengan cara menitip ? Bah !

> Saya malahan jadi berkhayal, kira-kira kelak Kartu Nama ‘PanDe Baik’ yang akan diedarkan bakalan punya power apa aja yah ? <

* Power of LoVe ajah. Hehehe….

Comments

Popular posts from this blog

Jodoh di Urutan ke-3 Tanda Pesawat IG

Kata Orangtua Jaman Now, Jodoh kita itu adanya di urutan ke-3 tanda pesawat akun IG.  Masalahnya adalah, yang berada di urutan ke-3 itu bapak-bapak ganteng brewokan berambut gondrong.  Lalu saya harus gimana ?  #jodohurutanketigadipesawat  Mestinya kan di urutan SATU ?

Mewujudkan Agenda Cuti Bersama Lebaran

Tampaknya di Hari terakhir Cuti Bersama Lebaran, sebagian besar rencana yang ingin dilakukan sejak awal liburan sudah bisa terwujud, meski masih ada beberapa agenda lainnya yang belum bisa dijalani.  Satu hal yang patut disyukuri, setidaknya waktu luang jadi bisa dimanfaatkan dengan baik untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan tertunda beberapa waktu lalu.  1. Migrasi Blog Aksi pulang kampung ke laman BlogSpot tampaknya sudah bisa dilakukan meski dengan banyak catatan minus didalamnya. Namun setidaknya, harapan untuk tidak lagi merepotkan banyak orang, kedepannya bisa dicapai. Sekarang tinggal diUpdate dengan postingan tulisan tentang banyak hal saja.  2. Upload Data Simpeg Melakukan pengiriman berkas pegawai ke sistem online milik BKD rasanya sudah berulang kali dilakukan sejauh ini. Termasuk Simpeg Badung kali ini, yang infonya dilakukan pengulangan pengiriman berkas dengan menyamakan nomenklatur penamaan file. Gak repot sih sebenarnya. Tapi lumayan banyak yang harus dilengkapi lagi. 

Warna Cerah untuk Hidup yang Lebih Indah

Seingat saya dari era remaja kenal baju kaos sampai nganten, isi lemari sekitar 90an persen dipenuhi warna hitam. Apalagi pas jadi Anak Teknik, baju selem sudah jadi keharusan.  Tapi begitu beranjak dewasa -katanya sih masa pra lansia, sudah mulai membuka diri pada warna-warna cerah pada baju atasan, baik model kaos oblong, model berkerah atau kemeja.  Warna paling parah yang dimiliki sejauh ini, antara Peach -mirip pink tapi ada campuran oranye, atau kuning. Warna yang dulu gak bakalan pernah masuk ke lemari baju. Sementara warna merah, lebih banyak digunakan saat mengenal ke-Pandean, nyaruang antara warna parpol atau merahnya Kabupaten Badung.  Selain itu masih ada warna hijau tosca yang belakangan lagi ngetrend, merah marun atau biru navy. Semua warna dicobain, mengingat hidup rasanya terlalu sederhana untuk dipakein baju hitaaaaam melulu.  Harapannya bisa memberikan warna pada hidup yang jauh lebih cerah, secerah senyum istri pas lagi selfie.