Terkadang saya tak mengerti dengan pola pikir orang-orang yang terlibat dalam kasus korupsi, seperti yang ditayangkan dalam cerita kilas balik di layar televisi. Rata-rata mereka ini adalah orang yang memiliki kesempatan dan sialnya kemampuan yang meyakinkan untuk melakukan tindak pencurian macam ini.
Sayang, walaupun KPK sudah membeberkan bukti kuat pada publik diantaranya rekaman suara mereka saat melakukan ‘transaksi’ via telpon genggam yang pada awalnya mereka yakini takkan terdeteksi, sang tokoh utama justru banyak menyangkal bukti-bukti tersebut.
Hingga tak jarang, aksi penyangkalan itu yang lebih banyak diungkapkan dengan kata ‘tidak tahu’, malah menunjukkan betapa kasihan negara ini memiliki orang-orang yang diharapkan memiliki dedikasi tinggi di masing-masing bidangnya. Kalo ndak salah ungkapan ini sempat dilontarkan pula oleh seorang hakim yang waktu itu menyajikan rekaman suara sang tokoh utama, dan tentunya disangkal dengan kata ‘tidak tahu’ tadi.
Kebohongan yang sudah jelas tampak pada setiap perilaku sang tokoh malah diperparah oleh bukti lain, yang jauh lebih memberatkan. Sayangnya semua hal ini tak jua menyurutkan semangat keinginan sang tokoh menginginkan kebebasan atas kasusnya tersebut. Tak jarang dalam pembacaan pledoi, hampir semua tokoh ini menangis ‘tangisan buaya’ sambil mengatakan teringat pada anak-anak mereka yang masih kecil. Lantas apakah waktu melakukan korupsi dahulu (dengan sengaja), apakah mereka tak mengingatnya sama sekali ? bagaimana efek yang dapat ditimbulkan akibat perbuatan mereka.
Jangan jauh-jauh dulu bicaranya deh. Itu terjadi di Pusat sana. Di Jakarta. Ayo, ngomong yang dekat-dekat sini saja.
Mengapa saya menulis posting kayak gini, tentu ada alasannya dong ?
Ya. Karena saya juga terheran-heran dengan tingkah polah orang-orang yang ada disekitar saya, dengan pongahnya memanfaatkan kesempatan yang diberikan pada mereka, untuk melakukan tindak korupsi kecil- kecilan. Padahal mereka berada dalam satu tim kerja. Yang sudah berusaha menciptakan image bersih dari setahun lalu. Kini semua menjadi berantakan kembali, jadi gak ada bedanya dengan image yang dilekatkan oleh masyarakat.
Memang kondisinya sudah jauh berbeda. Jika setahun lalu, anggota tim hanya berjumlah 3 orang, sehingga untuk saling kontrol jadi jauh lebih gampang. Secara kebetulan orang-orang ini selalu berusaha bekerja dengan semangat tinggi, dan bersih dari segala urusan sogok menyogok apalagi mengemis secara paksa. Kini anggotanya sudah bertambah. Orang yang dahulu sempat dipinggirkan, memaksa ikut masuk dalam tim. Sayangnya yang dipaksa sudah dijejali dengan ‘sikap baik’ plus segala propagandanya.
Akhirnya kepentingan pribadipun lebih diutamakan dibanding dedikasi kerja. Hingga satu persatu kepentingan itu melahirkan kebohongan-kebohongan kecil yang jelas saja diikuti dengan kebohongan lain. Yang saat mulai terungkap ke permukaan, orang-orang tersebut bagaikan kebakaran jenggot.
Ah, memang sulit mewujudkan image Pegawai Negeri Sipil yang berdedikasi tinggi dalam pekerjaannya. Rasanya semua pendidikan yang kami lakoni saat Pra-Jabatan lalu, ‘mampu memberikan Pelayanan Prima pada Masyarakat, tanpa ada pungli dan sejenisnya’, harus kami gantung pada langit-langit kamar. Karena disini, semua itu tiada artinya lagi. Tergerus oleh godaan uang, gaya hidup dan juga kemewahan. Lantas apa bedanya kami dengan para Tersangka Kasus Korupsi di Pusat sana ?
Tentu saja perbedaan itu hanyalah soal waktu. Karena setahu saya, Tuhan toh biasanya akan membiarkan umatnya ‘bersenang-senang dahulu’, membiarkan umatnya merasakan nikmatnya korupsi kecil-kecilan, toh juga tak ketahuan atasan. Semoga saja Tuhan mendengar dan melihat semua kenyataan dan memberikan Keadilan pada Hamba-Nya ini.
Comments
Post a Comment