Heboh pemberitaan terkait ketinggian bangunan gedung PusPem Badung yang melebihi aturan PerDa 15 meter, tampaknya tak muncul lagi di media Radar Bali. Hal ini jelas menarik perhatian publik termasuk saya, lantaran Badung dimana saya bekerja, ditenggarai melanggar beberapa PerDa yang sedianya dipatuhi isinya. Malah ada wacana untuk mengubah isi PerDa agar sesuai dengan perkembangan jaman saat ini.
Kalo mau main saklek, sebetulnya banyak kok bangunan di Kota Denpasar ini maupun Badung (KuTa) yang melanggar aturan PerDa tersebut. Hanya karena isinya yang mampu diputarbalikkan saja yang membuat bangunan-bangunan tersebut lempeng aja mendapatkan ijin membangun ketimbang diproses dan dipangkas ketinggiannya seperti yang dilontarkan oleh beberapa pihak.
Mengacu pada level tanah asli (ground) biasanya diakali dengan mengeruk lahan untuk membuat lantai tambahan dibawah tanah, toh kalo dilihat dari luar (jalan raya), ketinggian tetap tak melebihi batas 15 meter. Ini saya amati pada Hotel Nikko yang secara kebetulan berdiri pada transis tanah yang berundak ‘atau memang sengaja dibuat berundak. Entahlah…
Toh yang namanya kata-kata dalam aturan perundang-undangan negara ini (termasuk RUU Pornografi) memiliki multi tafsir, banyak arti. Tergantung dari sudut pandang siapa yang melihatnya. Misalkan saja pengecualian fungsi bangunan yang diijinkan melebihi ketinggian 15 meter, antara lain tower, tempat ibadah dan lainnya. Entah apakah kata -yang lainnya- ini dipake sebagai dasar pengajuan bagi gedung-gedung yang mulus mendapatkan ijin bangunan dari Pemerintah.
Ohya, sebetulnya gak usah jauh-jauh ke daerah Kuta kalo mau ngliat contoh-contoh bangunan yang ditenggarai melanggar ketinggian 15 meter, yang kalo ndak salah cara menghitungnya ya dari pertemuan balok lantai paling bawah yang bersentuhan dengan tanah asli hingga pertemuan ring balok dengan kemiringan atap. Jadi bukan hingga ujung atap lho ya.
Kalo mata sedikit jeli, cobain aja singgah ke Apotik Anugerah di Gatot Subroto I, dan berpaling kearah barat. Kalo ndak salah disebelahnya lantai paling bawah itu digunakan sebagai usaha Warnet. Lihat ketinggiannya. Mungkin kalo saklek diukur ya bisa jadi melebihi ketentuan PerDa.
Pada posting saya terdahulu juga ada. Tapi maaf, saya sendiri lupa tanggal berapa postingannya. Perihal bangunan 4 lantai di pinggir jalan Sulawesi yang bisa dilihat jelas dari parkiran Pasar Badung dimana dahulunya terdapat Pura Melanting yang kini telah berpindah tempat. Itu lebih parah lagi. Bangunannya sudah 4 lantai, tapi masih juga ditambahkan satu fungsi bangunan di lantai kap paling atas. Barangkali untuk menjemur pakaian basah.
Ironi ini sebetulnya kalo dilihat dari sudut pandang pribadi sih, wajar aja kok. Wong lahan yang mereka miliki Cuma seiprit, boro-boro mau diisi halaman dan pohon hijau, dipake bangunan aja masih sempit. Maka solusi satu-satunya ya dinaikkan (baca : ditingkatkan) semampunya. Ini barangkali juga akan menjadi salah satu solusi saat BaLi nantinya sudah kehabisan lahan untuk permukiman, dimana tak ada lagi tempat yang bisa dihuni secara horisontal.
Mungkin memang sudah saatnya PerDa ini kembali direvisi demi sebuah masa depan BaLi yang jauh lebih baik.
Comments
Post a Comment